UPDATEINEWS|PEKANBARU,(26/09/27) – Putusan mengejutkan kembali lahir dari meja hijau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pekanbaru. Majelis hakim yang diketuai Jonson Perancis SH MH memvonis bebas Abdul Karim (juru ukur BPN Inhu) dan Zaizul (mantan Lurah Pangkalan Kasai) dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah milik Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu).
Hakim menegaskan keduanya tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalih yang dipakai: tanah milik Pemkab Inhu masih ada, hanya terjadi tumpang tindih tiga sertifikat. “Itu bukan korupsi, tapi sengketa keperdataan,” ujar hakim dalam sidang Senin (22/9/2025) malam.
Audit Rp1,7 Miliar Tak Berlaku?
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya mendakwa penerbitan 3 SHM itu telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp1,7 miliar, hasil audit Inspektorat Inhu. Namun hakim menilai kerugian tersebut hanya “total loss” yang tak bisa dikategorikan sebagai kerugian negara.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah Inspektorat memang sah menilai kerugian negara? Lazimnya, dalam kasus Tipikor, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diakui sebagai lembaga audit resmi. Di sinilah dakwaan JPU jadi rapuh.
Bukan Korupsi, Hanya Administrasi?
Hakim menyebut perbuatan kedua terdakwa hanyalah kesalahan administrasi jabatan, bukan perbuatan pidana. Putusan ini membuat tuntutan JPU 4 tahun penjara untuk Abdul Karim dan 1,5 tahun untuk Zaizul jatuh tak berdaya.
Kuasa hukum terdakwa langsung menerima putusan, sementara JPU menyatakan masih pikir-pikir. Di luar ruang sidang, keluarga terdakwa menangis haru dan bersujud syukur.
Di Balik Putusan, Ada Catatan Kritis
Meski putusan ini sah secara hukum, publik wajar bertanya:
– Apakah penerbitan sertifikat ganda di atas tanah Pemda hanya kesalahan administrasi?
– Bukankah tumpang tindih sertifikat bisa membuka celah mafia tanah?
– Jika kerugian negara tidak nyata, mengapa JPU begitu yakin membawa perkara ini ke Tipikor?
Vonis bebas ini berpotensi menjadi preseden berbahaya: perkara pertanahan yang menimbulkan kerugian pada aset daerah bisa dengan mudah dikeluarkan dari ranah pidana hanya dengan alasan “administrasi”.
Transparansi yang Ditunggu Publik
Kasus ini menegaskan dua hal. Pertama, kelemahan konstruksi dakwaan JPU yang tidak kokoh dalam mendefinisikan kerugian negara. Kedua, kecenderungan hakim Tipikor “mengembalikan” kasus pertanahan ke ranah perdata.
Di sisi lain, masyarakat berhak mendapatkan jawaban yang lebih transparan: apakah ini murni persoalan hukum yang kaku atau ada kekuatan lain yang membuat para terdakwa lolos dari jerat penjara?
UpdateiNews akan terus menelusuri dinamika kasus ini, termasuk rekam jejak para pihak, agar publik tidak hanya dijejali putusan, tapi juga memahami apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar. (*)