Oleh: Dedi Harianto Lubis SH.
UpdateiNews|Opini | Pekanbaru, (29/06/25), Penyusunan dua unit mobil milik Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Riau oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru bukan sekedar konflik perdata biasa. Lebih dari itu, peristiwa tersebut mencerminkan kegagalan lembaga publik dalam menghormati prinsip dasar ketenagakerjaan dan hukum administrasi negara.
🔍 Konstruksi Hukum yang Terabaikan
Lima orang eks pegawai menggugat KONI Riau atas hak pesangon mereka setelah dihentikan. Di sisi lain, KONI Riau bersikukuh bahwa kelima orang tersebut hanyalah Tenaga Harian Lepas (THL), yang menurut versi mereka tidak berhak atas pesangon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Namun perlu ditegaskan: status THL bukan alasan legal untuk menafikan hak-hak pekerja, terlebih jika status tersebut digunakan secara sistemik, jangka panjang, dan tanpa ikatan kontraktual tertulis yang sah.
Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 jo. UU No. 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja), menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja, perintah, dan upah.
Artinya, siapa pun yang memenuhi unsur tersebut termasuk pekerja di lembaga non-profit seperti KONI berhak atas perlindungan hukum ketenagakerjaan, termasuk pesangon.
⚖️ THL dan Status Kerja Terselubung
Kasus ini dapat digolongkan sebagai bentuk penyalahgunaan status THL. Banyak lembaga pemerintah atau non-profit menggunakan sistem THL bukan karena kebutuhan kerja sementara, tetapi karena ingin menghindari tanggung jawab atas upah layak, jaminan sosial, cuti, dan kompensasi PHK.
Lebih jauh, Pasal 59 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa hubungan kerja waktu tertentu (PKWT) tidak boleh dilakukan secara terus-menerus tanpa batas. Jika hal itu terjadi, maka status pekerja berubah secara hukum menjadi pekerja tetap (PKWTT).
Dengan kata lain, THL yang bekerja bertahun-tahun dengan ritme tetap dan tugas struktural dapat menggugat haknya sebagai pekerja tetap, termasuk hak atas pesangon, sesuai Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
🚨 Aset Negara Jadi Jaminan, Publik Terguncang
Penyitaan dua unit mobil dinas Toyota Innova milik KONI sebagai jaminan pesangon senilai Rp142 juta seharusnya menjadi tamparan bagi semua lembaga publik. Ini bukan hanya soal utang kepada eks pegawai, tapi indikator bobroknya manajemen SDM dan lemahnya komitmen terhadap hukum.
Mobil negara disita akibat kelalaian membayar hak normatif tenaga kerja. Bagaimana publik bisa percaya lembaga olahraga jika urusan paling dasar seperti tenaga kerja saja tak dipatuhi?
🧠 Refleksi Hukum dan Tanggung Jawab Negara
KONI bukan lembaga swasta, melainkan bagian dari sistem yang dibiayai uang rakyat melalui APBD. Maka, setiap bentuk hubungan kerja yang dibiayai oleh negara wajib tunduk pada norma hukum ketenagakerjaan nasional, dan bukan bergantung pada tafsir sepihak “sagu hati” atau istilah non-yuridis lainnya.
Pemprov Riau juga tidak boleh tutup mata. Hibah kepada KONI harus dikawal bukan hanya pada kegiatan olahraga, tapi juga kepatuhan administratif, hukum keuangan, dan perlindungan pekerja.
📌 Penutup: Memperkuat Prinsip Kepastian Hukum
Kasus KONI Riau harus dijadikan momentum untuk:
1. Melakukan audit menyeluruh terhadap sistem kerja THL di semua lembaga daerah.
2. Menyerukan pembentukan regulasi khusus bagi pekerja non-PNS di lembaga penerima hibah negara.
3. Menghentikan praktik pemutihan status kerja yang merugikan pekerja dan mencoreng wajah keadilan sosial.
Tenaga Harian Lepas bukan celah hukum. Mereka manusia kerja yang tunduk pada undang-undang, dan harus dilindungi oleh hukum, bukan dijatuhkan oleh istilah birokrasi.(*)
Rilis: Opini Redaksi
Editor: When