UpdateiNews | Jakarta, (05/05/25) – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara resmi membuka blokir anggaran sebesar Rp 86,6 triliun untuk 99 kementerian/lembaga (K/L), setelah menyelesaikan proses efisiensi sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Pembukaan blokir ini diumumkan dalam konferensi pers APBN KiTa pada 30 April 2025 dan disebut sebagai bagian dari upaya menjaga disiplin fiskal.
Namun di balik kebijakan ini, muncul pertanyaan: benarkah efisiensi telah dilakukan secara substantif, atau justru ini hanyalah penundaan belanja yang kini dilepaskan demi mengejar target serapan menjelang semester kedua?
Zona Efisiensi: Pemerintah Daerah Terjebak Diam
Efisiensi anggaran yang awalnya diharapkan menimbulkan perubahan perilaku belanja yang lebih strategis, ternyata membuat banyak pemerintah daerah masuk ke mode “tunggu instruksi”. Tak sedikit proyek di daerah yang tertunda karena ketidakpastian anggaran dari pusat.
“Daerah tidak tahu kapan blokir akan dibuka, jadi mereka menahan semua program, bahkan yang mendesak sekalipun,” ujar Gubernur Kalimantan Barat dalam sebuah forum fiskal regional. Akibatnya, pelayanan publik terganggu dan proyek infrastruktur mengalami stagnasi.
Pemerintah pusat seharusnya mendorong daerah untuk keluar dari zona efisiensi pasif, dan mulai menyusun ulang belanja yang berdampak langsung pada masyarakat. Pembukaan blokir seharusnya dibarengi dengan dukungan teknis dan arahan yang konkret agar realokasi benar-benar efektif dan tidak menjadi ajang “kejar tayang” belanja akhir tahun.
Dampak Ekonomi: Tumbuh Lambat, Ketimpangan Meningkat
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 hanya 4,87%, melambat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Salah satu penyebab utama adalah tertundanya belanja negara, terutama di daerah.
Efisiensi yang terlalu sentralistik dan tidak disertai dengan roadmap pemulihan belanja jangka pendek justru menciptakan shock ekonomi mikro di daerah, terutama di sektor padat karya seperti konstruksi dan pengadaan barang/jasa. UMKM lokal pun terdampak karena kehilangan proyek dan pesanan dari pemerintah.
Di pusat, lambatnya pencairan anggaran menahan konsumsi pemerintah, yang merupakan salah satu motor pertumbuhan utama. Sementara di daerah, efeknya lebih akut: lapangan kerja menyusut, pendapatan daerah menurun, dan pertumbuhan tersendat.
“Kalau efisiensi justru membuat ekonomi melambat, maka harus ditinjau kembali apakah efisiensi ini hanya bersifat kosmetik,” ujar Dr. M. Reza Hardiansyah, pengamat fiskal dari UI.
Pembukaan blokir anggaran Rp 86,6 triliun oleh Sri Mulyani menunjukkan adanya pelonggaran fiskal yang bisa berdampak positif, asalkan dieksekusi dengan perencanaan dan transparansi yang ketat. Namun tanpa reformasi belanja yang nyata dan koordinasi erat dengan pemerintah daerah, ini hanya akan menjadi kebijakan tambal sulam.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus keluar dari zona nyaman efisiensi dan beralih ke pola belanja cerdas: berbasis data, berorientasi hasil, dan menyentuh kebutuhan masyarakat. Jika tidak, yang tersisa hanyalah grafik serapan anggaran yang naik, tapi manfaat yang tetap mengambang. (*)
Rilis : Agoes.B
Editor : Weny Christina