Skandal Hukum Mencoreng Wibawa Peradilan: Ketua PN Jaksel Terlibat Suap Rp60 Miliar dalam Kasus Minyak Goreng

UpdateiNews | Jakarta – Dunia peradilan Indonesia kembali tercoreng oleh skandal korupsi memalukan. Kejaksaan Agung Republik Indonesia secara resmi menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), sebagai tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi senilai Rp60 miliar. Uang haram tersebut diduga diterima untuk mengatur putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi minyak goreng yang sempat menyedot perhatian publik.

Skema busuk itu terungkap dalam konferensi pers yang digelar Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, Sabtu (12/4). “MAN diduga menerima suap Rp60 miliar untuk mempengaruhi putusan kasus minyak goreng saat masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat,” tegas Qohar.

Ironisnya, keadilan dijual dengan harga yang mahal Rp60 miliar dan dibungkus dalam kesepakatan kotor antara hakim dan mafia peradilan. Uang tersebut disebut diterima melalui WG, panitera yang merupakan orang kepercayaan MAN, yang kini juga telah ditetapkan sebagai tersangka.

Mafia Hukum Terorganisir di Balik Layar

Tak hanya MAN dan WG, dua advokat berinisial MS dan AR juga ikut terseret sebagai tersangka. Mereka diduga berperan aktif dalam mengatur skenario busuk agar majelis hakim mengeluarkan putusan sesuai permintaan pihak pemberi suap. “Melalui WG, terjadi kesepakatan, lalu ditunjuk tiga majelis hakim. Putusannya sesuai permintaan,” ungkap Qohar.

Pertanyaan besar pun menggantung di udara: apakah para hakim yang terlibat juga menerima bagian dari aliran dana haram itu? Kejagung menyatakan masih mendalami kemungkinan keterlibatan majelis hakim dalam jual beli keadilan ini.

Pengkhianatan Terhadap Amanah dan Rasa Keadilan Publik

Penangkapan dan penahanan terhadap MAN, WG, serta dua advokat bukan hanya mencoreng wajah peradilan Indonesia lebih dari itu, ini adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat, terhadap sumpah jabatan, dan terhadap rasa keadilan publik yang kian hari kian tergerus.

Lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan kini justru menjadi ladang empuk praktik korupsi. Pengadilan bukan lagi tempat mencari keadilan, tapi pasar gelap yang bisa dibeli oleh siapa saja yang mampu membayar.

Desakan Reformasi Total Lembaga Peradilan

Skandal ini seharusnya menjadi momentum untuk membersihkan lembaga kehakiman dari oknum-oknum busuk. Reformasi total perlu dilakukan dari rekrutmen hingga pengawasan. Tidak cukup hanya dengan memenjarakan satu atau dua orang.

Kejaksaan Agung berjanji akan menelusuri aliran dana dan menyeret semua pihak yang terlibat, tanpa pandang bulu. Publik menanti, apakah hukum benar-benar akan berdiri tegak, atau kembali tunduk pada uang dan kekuasaan.

“Penyidik masih mendalami lebih lanjut, terutama terkait aliran dana dan siapa saja yang ikut terlibat,” tutup Qohar. (*)

Rilis : Redaksi
Editor: when

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *