UpdateiNews | Pekanbaru,(24/05/25) – Proyek pembangunan sistem pompa banjir di Parit Belanda, Jalan Nelayan, Kecamatan Rumbai, Pekanbaru, kembali disorot publik. Proyek senilai Rp89 miliar ini diduga menyimpan sejumlah penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp2 miliar.
Proyek tersebut merupakan bagian dari program Urban Flood Control System Improvement (UFCSI) yang didanai melalui pinjaman luar negeri dari Japan International Cooperation Agency (JICA), disalurkan lewat Kementerian PUPR kepada Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera III. Tujuannya adalah mengatasi banjir tahunan di sekitar bantaran Sungai Siak.
Namun, berdasarkan dokumen dan temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sejumlah kejanggalan teridentifikasi, antara lain:
Ketiadaan Direksi Kit Mandiri: Tidak tersedia bangunan kantor lapangan (direksi kit) secara mandiri. Direksi kit yang ada menggunakan bangunan rumah pompa eksisting yang bukan bagian dari pekerjaan baru. Hal ini tidak sesuai dengan standar pelaksanaan proyek.
Ketidaksesuaian Gambar Teknis: Tidak ditemukan gambar teknis yang sah sebagai dasar pekerjaan. Gambar kerja yang digunakan berasal dari dokumen bangunan pompa lama dan tidak dirancang oleh kontraktor pelaksana saat ini.
Kelebihan Pembayaran Rp2 Miliar: BPK menemukan indikasi kelebihan bayar meski progres fisik proyek belum tuntas sepenuhnya.
Pemanfaatan Pompa yang Tidak Memadai: Di lapangan ditemukan 5 unit pompa hisap dengan kapasitas diduga hanya 0,3 m³ per detik. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah alat tersebut cukup untuk mengalirkan air sejauh 12 km dari Parit Belanda ke saluran Jalan Patria Sari.
Pelanggaran Teknis Pembuangan Galian: Berdasarkan Kerangka Acuan Kerja (KAK), tanah galian seharusnya dibuang ke lokasi sejauh 30 km, namun kenyataannya dibuang di sekitar lokasi proyek.
Publik juga mempertanyakan keputusan pengalihan dana pada item utama seperti galian dan saluran, sementara kebutuhan teknis mendesak seperti penambahan kapasitas pompa justru tidak diprioritaskan. Hal ini memunculkan dugaan bahwa pengelolaan anggaran proyek dilakukan tidak untuk kepentingan teknis, melainkan demi keuntungan tertentu.
Project Manager PT Minarta Dutahutama, Nalfican ST, menyatakan bahwa proyek ini adalah bagian dari rencana penanganan banjir terpadu yang telah disusun sejak 2011. “Kami mengganti sistem pompa lama di Sektor III dan berupaya menyelesaikan pekerjaan sesuai standar teknis,” ujarnya.
Namun, pernyataan tersebut belum menjawab secara tuntas dugaan pelanggaran yang terjadi.
Praktisi hukum Susi, SH, MH menilai bahwa temuan BPK mengarah pada indikasi tindak pidana korupsi. “Pembayaran sebelum pekerjaan selesai, terutama dalam jumlah besar, dapat dikategorikan sebagai mark-up atau fiktif. Ini melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor,” tegasnya.
Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, dengan ancaman pidana 4 hingga 20 tahun. Sementara Pasal 3 menjerat pelaku penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
“Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tapi indikasi kuat penyalahgunaan kewenangan. Kejaksaan Tinggi Riau harus segera turun tangan,” tambah Susi.
Hingga berita ini diturunkan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek Tommy Afrialdi dan pihak BWS Sumatera III belum memberikan keterangan resmi. Desakan publik terhadap penegakan hukum terus meningkat agar proyek berbasis pinjaman internasional ini tidak menjadi preseden buruk di masa depan.(*)
Editor: Redaksi | bob