Restorative Justice: Keadilan yang Tergadai di Balik Dalih Perdamaian

UpdateiNews | Opini, (01/05/25) – Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif adalah konsep progresif dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2014, hingga Peraturan Kepolisian No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, menjadi payung hukum yang mendasari pendekatan ini.

Pada prinsipnya, RJ bertujuan untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Ia hanya dapat diterapkan jika korban dan pelaku menyepakati penyelesaian, pelaku mengakui kesalahan, serta tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan dan tidak menimbulkan keresahan sosial.

Namun, praktiknya justru melenceng jauh. Alih-alih menjadi instrumen keadilan yang manusiawi, RJ kini rawan menjadi sarana komersialisasi hukum. Aparat penegak hukum, khususnya di tingkat penyidik, sering kali menjadikan “perdamaian” sebagai ladang transaksi. Nilai keadilan digantikan dengan nominal uang, dan proses hukum bisa dibatalkan asal pelaku “membayar damai”.

Landasan Hukum Dikhianati

Pasal 5 ayat (1) huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021 menyebutkan bahwa RJ hanya bisa dilakukan terhadap tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun, serta tidak berdampak luas bagi masyarakat. Namun dalam praktik, perkara dengan ancaman hukuman lebih berat pun ikut dinegosiasikan dengan dalih RJ.

Lebih jauh lagi, Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2012 mengatur bahwa keadilan restoratif merupakan alternatif, bukan pengganti proses hukum formal. Artinya, ketika prinsip-prinsip hukum dilanggar—seperti tekanan terhadap korban, penyuapan, atau penghilangan unsur pertanggungjawaban pelaku maka RJ tidak dapat diberlakukan.

Keadilan Dibeli, Korban Tersisih

Dalam kondisi ideal, RJ memulihkan trauma korban. Namun kini korban kerap didesak untuk “memaafkan”, bahkan diminta menandatangani pernyataan damai demi menghentikan perkara. Di sisi lain, pelaku yang memiliki kekuatan finansial dapat “membayar kebebasan”. Ini bentuk baru ketimpangan hukum: impunitas dengan jubah hukum.

Padahal, konstitusi kita menjamin perlakuan yang adil di depan hukum (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945). Ketika RJ hanya menguntungkan pelaku yang mampu dan merugikan korban yang lemah, maka yang terjadi bukan pemulihan, melainkan penghinaan terhadap hukum.

Restoratif atau Represif Terselubung?

Ketika RJ diselewengkan, ia menjadi alat represif terselubung: korban ditekan untuk diam, pelaku membeli kedamaian, dan aparat mendapat “imbalan”. Ini bukan keadilan restoratif, melainkan restorasi korupsi dalam sistem hukum pidana.

Oleh karena itu, kontrol publik sangat penting. Harus ada mekanisme audit, pengawasan independen, dan keterlibatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar proses RJ tidak disalahgunakan.

Restorative Justice bukanlah jalan pintas membungkam keadilan. Jika aparat masih menjadikan hukum sebagai alat transaksi, maka reformasi hukum hanyalah ilusi. (*)

Rilis: Redaksi | DHL 
Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *