Raja Ampat dan Bayang-Bayang Tambang: Masa Depan Indonesia di Tepi Jurang

“Tanah air bukan sekadar tanah tempat berpijak, tapi ruang hidup yang diwariskan dari leluhur dan seharusnya, untuk cucu kita.”

UpdateiNews | Riau, (08/06/25) – Ketika deru ekskavator mulai mengguncang pulau-pulau kecil di Raja Ampat, kita diingatkan pada satu realitas getir: konflik antara investasi tambang dan hak hidup masyarakat adat bukan sekadar masalah lokal. Ia adalah cermin masa depan Indonesia jika kita terus membiarkan pengelolaan sumber daya alam berjalan tanpa arah, tanpa hati, tanpa hukum yang berpihak pada rakyat.

Pulau-pulau yang Terjual Diam-diam

Raja Ampat adalah simbol. Tak hanya keindahan lautnya yang memesona dunia, tapi juga rumah bagi masyarakat adat yang hidup harmonis dengan alam selama ratusan tahun. Kini, lima perusahaan tambang nikel mengantongi izin di sana dan sebagian telah terbukti melanggar aturan lingkungan, bahkan membuka lahan tanpa izin kawasan hutan.

Ini bukan kejutan. Justru pola lama yang terus terulang: izin tambang muncul di tanah yang belum jelas status adatnya, dokumen AMDAL dipaksakan, dan konsultasi publik dijadikan formalitas. Dalam sekejap, laut biru berubah keruh, dan tanah leluhur berubah menjadi angka produksi dan dividen pemegang saham.

Hukum Ada, Tapi Tak Berdiri Tegak

Secara konstitusional, Indonesia mengakui keberadaan masyarakat adat (UUD 1945 Pasal 18B ayat 2). Kita punya UU HAM, UU Pengelolaan Pesisir, bahkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Tapi, semua hukum itu hanya sekuat implementasinya. Dan di lapangan, mereka sering tak lebih dari aksesoris.

Tanpa UU Masyarakat Adat yang definitif dan tegas, wilayah ulayat masih rawan direbut legal melalui izin-izin tambang. FPIC (Free, Prior, Informed Consent) hanya jadi retorika. Partisipasi warga ditulis, tapi tak dijalankan. Dan ketika masyarakat menolak, mereka tak jarang dibungkam, dikriminalkan, dilabeli anti-pembangunan.

Masa Depan: Tanah Retak, Rakyat Menjerit

Pertanyaannya: apa jadinya jika konflik seperti Raja Ampat terjadi di seluruh wilayah Indonesia lainnya? Jawabannya tak sulit ditebak:

  • Pulau-pulau kecil rusak permanen. Hukum jelas melarang tambang di pulau <2.000 km², tapi celah selalu ditemukan. Jika ini dilegalkan, ribuan pulau lainnya akan bernasib sama.
  • Kedaulatan masyarakat adat akan lenyap. Tanpa perlindungan hukum, mereka akan terus tergusur dari tanah mereka sendiri, membawa luka sejarah yang baru.
  • Krisis sosial-ekologis tak terbendung. Dari banjir bandang hingga konflik agraria, semuanya berakar dari satu hal: sumber daya dikuasai tanpa etika dan partisipasi.

Rakyat kehilangan kepercayaan pada negara. Apa artinya hukum, jika yang dilindungi hanya korporasi?

Kita Butuh Poros Baru

Pembangunan tak boleh lagi diartikan semata-mata sebagai “tambang jalan, ekonomi tumbuh”. Kita butuh paradigma baru: pembangunan yang berkeadilan ekologis, berpihak pada generasi mendatang, dan mengakui martabat masyarakat adat sebagai penjaga bumi.

Negara harus:

1. Segera mengesahkan UU Masyarakat Adat.

2. Moratorium tambang di wilayah adat dan pulau kecil.

3. Audit menyeluruh atas seluruh izin tambang yang terbit sejak era otonomi daerah.

4. Penegakan hukum tanpa pandang bulu termasuk terhadap pejabat yang menerbitkan izin ilegal.

Akhir kata, jika tanah kita terus ditambang tanpa pikir panjang, maka bukan hanya ekosistem yang hancur, tapi juga narasi kebangsaan kita. Raja Ampat bukan akhir cerita ia bisa jadi awal dari kejatuhan, atau titik balik kebangkitan.

Pilihan ada di tangan kita. Di tanganmu. Di pena dan suara yang kamu suarakan hari ini.(*)

Rilis: Opini Pimred Redaksi

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *