Pimpinan Ponpes di Lombok Terancam Hukuman Mati atas Kasus Pelecehan Seksual 22 Santriwati

UpdateiNews-Mataram 28April 2025Seorang pimpinan pondok pesantren (ponpes) berinisial AF (55) di Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Satreskrim Polresta Mataram atas kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 22 santriwati. Aksi bejat ini dilakukan selama bertahun-tahun, dari 2016 hingga 2023.

Kasus ini terungkap setelah tujuh korban pertama melapor pada 16 April 2025, didampingi Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB. Seiring perkembangan penyelidikan, jumlah korban bertambah menjadi 22 orang, yang semuanya mengaku mengalami tindakan asusila dari tersangka di lingkungan ponpes.

Kepala Satreskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili, menyatakan bahwa AF memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin spiritual untuk memperdaya para santriwati. Tersangka mendatangi kamar korban pada malam hari, melakukan pelecehan dengan dalih pembinaan rohani dan “pemberian berkah”.

Akibat perbuatannya, AF dijerat dengan Pasal 81 juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, serta pasal tambahan terkait pemberatan karena dilakukan oleh seseorang yang memiliki kuasa terhadap korban. Dengan jeratan ini, AF terancam hukuman maksimal berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun.

“Karena korbannya di bawah umur, dalam jumlah banyak, dilakukan dengan relasi kuasa di lembaga pendidikan, ancaman hukumannya adalah pidana mati,” tegas AKP Regi Halili dalam konferensi pers.

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) telah bergerak cepat memberikan pendampingan psikologis kepada para korban. Selain itu, seluruh santriwati yang masih berada di ponpes tersebut telah dievakuasi dan dipindahkan ke lembaga pendidikan yang lebih aman.

Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan bahwa Pemprov NTB akan mengambil tindakan tegas. “Kami mendukung aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini seadil-adilnya. Tidak ada tempat bagi predator seksual, apalagi di lingkungan pendidikan agama,” ujarnya.

Kementerian Agama juga tengah memproses pencabutan izin operasional pondok pesantren tersebut. Sementara itu, banyak pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil, mendesak adanya reformasi besar-besaran dalam sistem perlindungan anak di lingkungan pesantren dan pendidikan berbasis agama.

Kasus ini kembali mengingatkan pentingnya pengawasan ketat di lembaga pendidikan untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak-anak.(*)

Rilis       : Redaksi News 

Editor    : Weny Christina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *