Pernyataan Kapolda MALUT dibantah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Tegaskan Kesalahan Pemahaman Regulasi

UpdateiNews | HALTIM, (30/04/25) – Pernyataan Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol. Waris, yang meminta masyarakat untuk melihat kembali regulasi kehutanan dalam merespon aksi penolakan tambang PT. STS di Halmahera Timur, menuai bantahan keras dari Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Demokrasi, Muhammad Hasan Basri.

Hasan menilai pernyataan Kapolda keliru dan menunjukkan pemahaman yang sempit terhadap regulasi masyarakat adat. “Kapolda hanya melihat aturan kehutanan secara terbatas, padahal Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 telah mengubah status hukum hutan menjadi tiga kategori: hutan hak, hutan negara, dan hutan adat,” tegasnya.

Hasan menambahkan bahwa perlindungan terhadap masyarakat adat diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2), yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa sejumlah regulasi lain juga mengakui eksistensi dan hak masyarakat adat, termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Keduanya memperkuat posisi masyarakat adat dalam menentukan nasib mereka sendiri, termasuk pengakuan terhadap wilayah adat dan hak ulayat.

Hasan juga mengkritik Kapolda yang merujuk pada Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 dan Permen LHK Nomor 21 Tahun 2019 sebagai dasar hukum utama. Ia menegaskan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sudah diatur dalam konstitusi, yang memiliki hierarki lebih tinggi dari peraturan menteri. “Permendagri hanya sebatas pedoman teknis identifikasi dan verifikasi, bukan dasar untuk menunda atau menolak pengakuan masyarakat adat,” ujarnya.

Terkait kasus di Maba Tengah, Hasan menuding PT. STS telah melakukan pelanggaran terhadap hak ulayat masyarakat adat Qimalaha, khususnya Desa Wayamli dan Yawanli. Menurutnya, kegiatan PT. STS di wilayah tersebut dilakukan tanpa izin masyarakat adat, sehingga secara hukum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak atas tanah adat.

Hasan juga mengungkapkan bahwa tindakan PT. STS melanggar kesepakatan yang sebelumnya dibuat bersama Forkopimda untuk menghentikan izin operasi. Ia mendesak agar Pemerintah Pusat segera mencabut izin operasional PT. STS sebagai bentuk penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat.

“Pemerintah tidak boleh membiarkan perusahaan melampaui batas dan mengabaikan hak konstitusional masyarakat adat. Negara harus hadir,” pungkas Hasan. (*)

Rilis: Taslim | Redasi HALUT

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *