Pasal 9G UU BUMN Dinilai Lemahkan KPK: Siapa yang Diuntungkan?

UpdateiNews | Jakarta, (12/05/25) — Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang baru saja disahkan menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama karena keberadaan Pasal 9G yang menyebut bahwa Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Pasal ini dinilai dapat melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan korupsi di tubuh BUMN.

Celakanya, Celah Hukum

Dalam UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, tepatnya Pasal 11 ayat 1, dinyatakan bahwa KPK berwenang menangani kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan aparat penegak hukum. Dengan munculnya pasal baru dalam UU BUMN yang seolah menghapus status penyelenggara negara dari pengurus BUMN, muncul kekhawatiran bahwa KPK tidak lagi memiliki yurisdiksi untuk menjerat para pejabat BUMN yang melakukan tindak pidana korupsi.

Namun, jika merujuk pada UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Direksi dan Komisaris BUMN tetap dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Hal ini karena mereka mengelola keuangan negara dan terlibat dalam kebijakan publik yang bersinggungan langsung dengan kepentingan rakyat.

Tumpang Tindih Regulasi

Konflik hukum pun tak terhindarkan. Di satu sisi, Pasal 9G UU BUMN menyebutkan pengurus BUMN bukan penyelenggara negara. Di sisi lain, UU KPK dan UU 28/1999 dengan tegas menetapkan bahwa pejabat BUMN tetap berada dalam cakupan penyelenggara negara.

Praktisi hukum menilai ini sebagai bentuk konflik horizontal antar perundang-undangan, dan berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku korupsi. Dalam konteks hukum tata negara, hal ini berbahaya karena berisiko menciptakan impunitas di ruang-ruang strategis pengelolaan keuangan negara.

Siapa yang Diuntungkan?

Dengan hadirnya Pasal 9G, pihak yang paling diuntungkan adalah para pejabat BUMN itu sendiri. Mereka bisa menggunakan dalil hukum bahwa mereka bukan penyelenggara negara untuk menghindari jerat hukum KPK. Jika hal ini tidak segera dikoreksi, kekhawatiran publik terhadap pelemahan pemberantasan korupsi bukan lagi isapan jempol.

Sementara itu, pihak yang dirugikan adalah KPK sebagai lembaga penegak hukum yang sebelumnya aktif mengusut berbagai kasus besar di BUMN, serta masyarakat dan negara yang bergantung pada transparansi pengelolaan dana publik.

Solusi Konstitusional

Pengamat hukum menyarankan agar Pasal 9G diuji secara konstitusional melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Peninjauan ini penting untuk memastikan tidak ada pasal dalam undang-undang sektoral yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi dan prinsip-prinsip good governance.

Selain itu, pemerintah juga bisa menerbitkan peraturan pelaksana atau penafsiran resmi yang menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 9G tidak menghapus status penyelenggara negara dari pejabat BUMN.

Menjaga Marwah Pemberantasan Korupsi

Dalam era keterbukaan informasi dan tuntutan terhadap transparansi, UU tidak boleh menciptakan celah yang dapat digunakan oleh oknum untuk menghindari proses hukum. KPK harus tetap diperkuat, bukan dilemahkan. Masyarakat memiliki hak untuk mengawasi dan mendorong agar regulasi yang ada berpihak pada pemberantasan korupsi, bukan sebaliknya.

Jika semangat antikorupsi ingin dijaga, maka regulasi yang menimbulkan celah impunitas harus segera diperbaiki. Demi keadilan, demi anggaran negara yang bersih, dan demi kepercayaan publik. (*)

Penulis: Redaksi | Untuk Pencerahan Publik

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *