Updateinews-Pekanbaru(7/4)Di tengah gempuran era digital dan maraknya berita cepat saji, jurnalis perempuan tetap berdiri di garis depan peliputan. Sayangnya, keberanian mereka tidak dibarengi dengan perlindungan yang layak. Banyak dari mereka menghadapi risiko ganda: sebagai jurnalis dan sebagai perempuan.
Kasus seperti pelecehan seksual saat peliputan, intimidasi dari narasumber, hingga perundungan daring adalah realita yang dihadapi banyak jurnalis perempuan. Sebuah riset AJI (Aliansi Jurnalis Independen) pada tahun-tahun terakhir mencatat bahwa mayoritas jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan tidak melaporkan kasusnya, karena takut tidak dipercaya atau takut kehilangan pekerjaan.
Minimnya perlindungan ini bersumber dari beberapa hal: tidak adanya SOP perlindungan khusus gender di banyak redaksi, kurangnya pelatihan keamanan untuk jurnalis perempuan, dan budaya patriarkal yang masih kuat di industri media. Selain itu, banyak redaksi masih menganggap isu kekerasan berbasis gender sebagai “urusan pribadi”.
Jurnalis perempuan bukan hanya penutur berita, mereka juga pembawa cahaya dalam gelapnya ketimpangan. Jika negara dan media masih abai pada keselamatan mereka, maka kita sedang membiarkan suara keadilan dibungkam secara perlahan.
editor :when01