Menyusuri Lorong Sabu di Tengah Kota: Anak-anak Jadi Spion, Bandar Tertawa

UPDATEINEWS|PEKANBARU,(20/09/25) – Sabtu malam itu, lorong sempit di Jalan Pangeran Hidayat seolah hidup. Motor keluar masuk, wajah-wajah asing hanya berani melintas cepat, dan di pojok gang terlihat anak-anak berusia belasan tahun duduk dengan tatapan waspada. Mereka bukan sedang main gawai atau bercanda, melainkan mengintai setiap gerak orang yang masuk ke wilayah mereka.

Saya berjalan perlahan memasuki Gang Assalam, yang dikenal warga sebagai “kereng Anto Inam”. Nama ini bukan sekadar julukan, tapi identitas penguasa wilayah. Dari keterangan warga, Anto Inam adalah sosok bandar yang sudah lama bermain, dan kini memperkerjakan anak-anak sebagai “mata-mata kecil”. Begitu ada aparat atau orang asing, mereka akan berlari sambil bersiul atau berteriak sebuah isyarat sederhana yang membuat transaksi di dalam segera berhenti.

“Anak-anak itu dipakai karena tidak akan dicurigai. Padahal mereka justru jadi korban pertama yang kehilangan masa depan,” ungkap seorang warga yang minta namanya dirahasiakan.

Nyunyuik di Gang Pargo, Boby Mother di Gang Abadi

Tidak jauh dari situ, Gang Pargo punya ceritanya sendiri. Kereng ini dikenal dengan sebutan “Nyunyuik”, salah satu titik paling aktif untuk transaksi sabu. Di sana, pengendalian begitu rapi. Setiap tamu yang masuk sudah dipantau sejak mulut gang, membuat siapapun yang berniat menyusup akan sulit lolos.

Sementara di Gang Abadi, nama yang santer terdengar adalah “Boby Mother”. Julukan ini sudah melekat di telinga masyarakat sekitar. Dialah yang disebut menguasai titik penjualan di sana.

Di tiga titik inilah Assalam, Pargo, dan Abadi menjadi denyut peredaran sabu seakan tak pernah berhenti. Seolah Pekanbaru hidup di dua dunia: satu di jalan protokol yang terang benderang, satu lagi di lorong gelap yang jadi pasar kematian generasi muda.

Di Tengah Kota, Tapi Negara Tak Hadir

Ironisnya, semua ini terjadi di jantung kota, bukan di pelosok. Hanya beberapa menit dari pusat pemerintahan, aparat, dan pasar besar. Tapi lorong-lorong ini seperti “negara dalam negara” yang punya hukum sendiri.

Razia memang pernah dilakukan, tapi selalu bocor lebih dulu. Warga menduga ada oknum aparat yang justru jadi beking para bandar. Setiap kali operasi, entah kenapa, kereng selalu lebih dulu steril. Seperti ada yang memberi aba-aba dari dalam seragam.

Kapolda Riau Ditantang Turun Tangan

Kini, masyarakat sudah kehilangan sabar. Mereka mendesak Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan turun langsung. Bukan hanya mengirim pasukan untuk razia formalitas, tapi menyapu bersih bandar, jaringan spion, dan oknum aparat yang jadi pagar bisnis haram ini.

“Kalau anak-anak dipakai jadi spion narkoba, berarti kita sedang membiarkan masa depan hancur. Kapolda harus buka mata, jangan biarkan lorong-lorong sabu ini terus bernafas,” tegas Zulfan Nur, pegiat anti-narkoba dari LSM Bersih Pekanbaru.

Malam itu saya keluar dari Gang Assalam dengan rasa perih. Suara anak-anak yang bersiul, tawa miris orang-orang di pojok gang, dan motor-motor yang hilir mudik hanyalah potret kecil dari betapa dalamnya cengkeraman narkoba di Pekanbaru.

Jika hari ini negara tak hadir, maka esok yang hancur bukan lagi sekadar generasi muda, tapi wajah moral kita sendiri.(*)

Catatan: Berita ini dibuat berdasarkan penelusuran tim Jurnalis berdasarkan Laporan masyarakat, berharap kota Pekanbaru bersih dari peredaran narkoba.
Rilis: Redaksi
Editor: Wheny

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *