Membelah Jalanan dengan Semangat Jalur: Kapolda Riau Ikut “Aura Farming” Pacu Jalur di CFD Pekanbaru, Tradisi Lokal Meletup ke Panggung Dunia

Perbarui Berita. | Pekanbaru, (6/07/25)  – Minggu pagi (6 Juli 2025) menjadi saksi bagaimana budaya melayu kembali merebut tahtanya. Di tengah riuh Car Free Day (CFD) di Jalan Gajah Mada, Kota Pekanbaru, sebuah pemandangan tak biasa menyedot perhatian ribuan pasang mata: Aura Farming Pacu Jalur, pertunjukan budaya yang kini mendunia, tampil memukau dan lebih mengejutkan lagi, disaksikan langsung dan diperagakan oleh Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan.

Jenderal polisi berbintang dua itu tak sekadar datang sebagai tamu, tapi turun langsung ikut dalam barisan framing jalur simulasi mendayung dalam formasi khas tradisi Kuantan Singingi. Dengan irama hentakan yang selaras dan teriakan komando yang menggema, suasana CFD berubah menjadi panggung budaya terbuka. Dari anak kecil hingga orang tua, semua larut dalam atmosfer kebanggaan.

“Ini luar biasa! Saya bangga sekali bisa menyaksikan langsung, apalagi Kapolda kita ikut turun langsung. Budaya kita itu hebat, jangan sampai hilang,” ujar Desma Yulita, warga Rumbai yang bersama datang anak-anaknya.

Tradisi Berabad-abad yang Terus Menyala

Pacu Jalur bukan hanya perlombaan mendayung. Ia adalah jiwa warisan orang Kuansing, yang telah hidup sejak abad ke-17. Dulu, jalur ini digunakan sebagai alat transportasi raja-raja kerajaan di tepian Sungai Batang Kuantan. Di kemudian hari, perahu panjang itu dijadikan wahana kompetisi tahunan rakyat yang penuh semangat, persatuan, dan rasa hormat kepada leluhur.

Pada tahun 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan Pacu Jalur sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional. Namun, kejayaannya sempat meredup akibat modernisasi, pandemi, dan berkurangnya ruang apresiasi budaya.

Kini, lewat tangan kreatif anak-anak muda dan tokoh adat, Pacu Jalur kembali naik ke permukaan dalam format baru tanpa sungai, tanpa perahu, tapi penuh makna. Aura farming adalah simbolisasi semangat, semacam “ berlatih mendayung tanpa jalur ” menciptakan energi kolektif tanpa harus menunggu musim lomba.

Dika, Sang Penari Jalur Kecil yang Menggetarkan Dunia

Fenomena ini bermula dari aksi seorang anak bernama Dika, yang videonya menari framing jalur di CFD viral di media sosial. Gerakan kecilnya, penuh semangat dan totalitas, menyentuh banyak hati. Ia seolah menjadi utusan budaya kecil yang tak pernah dibor secara formal, tapi mengalir alami dari darah dan tanah kelahirannya.

Kehadiran Kapolda Riau di CFD pekan ini disebut sebagai bentuk nyata dukungan institusi negara terhadap semangat akar rumput tersebut.

“Kami bukan hanya menjaga keamanan, tapi juga menjaga budaya. Apa yang dilakukan anak-anak kita ini adalah bentuk cinta tanah air dalam bentuk yang paling murni,” tegas Irjen Pol Herry Heryawan.

CFD Bukan Lagi Sekadar Lari Pagi

CFD kali ini seolah menjadi “Festival Mini Pacu Jalur”. Warga mengenakan busana adat, anak-anak membawa miniatur garis dari kayu dan bambu, para ibu menyiapkan makanan khas seperti lemang tapai dan kue talam, dan musik gendang pun mengisi udara pagi. Bahkan beberapa pengunjung dari luar kota mengaku terharu melihat kebangkitan budaya yang tak dibuat-buat.

“Rasanya kayak lagi di Kuansing waktu acara Pacu Jalur asli. Merinding lihat semua orang ikut bergerak! Saya jadi ingat almarhum ayah saya, dulu pendayung jalur,” kata Fachrul, warga asal Teluk Kuantan yang kini tinggal di Pekanbaru.

Wajah Baru Pelestarian Budaya

Fenomena ini membuktikan bahwa pelestarian budaya tak harus kaku. Tidak melulu harus dalam bentuk festival besar yang mahal, cukup dengan ruang terbuka dan semangat kolektif, budaya bisa hidup dan siapa yang menyentuh saja.

“Kita perlu konsep seperti ini di setiap kabupaten. Bayangkan kalau semua anak muda ikut ‘aura farming’ setiap minggu, warisan budaya kita akan mekar lagi,” ujar Rina Lestari, pemerhati budaya Melayu Riau.

Di Mana Bumi Dipijak, Tradisi Harus Dijunjung

Apa yang terjadi di CFD Pekanbaru bukan sekadar hiburan. Ia adalah gerakan kultural. Kapolda hadir bukan sebagai penonton, namun sebagai pelaku sejarah baru sebuah simbol bahwa negara hadir dalam memenuhi tradisi rakyat.

Hari itu, di bawah langit cerah dan semilir angin pagi, Jalan Gajah Mada menjadi sungai imajiner. Dan kita semua, meski tak mendayung perahu sesungguhnya, telah mendayung sejarah: menuju masa depan yang tetap bersandar pada akar budaya.(*)

Rilis: Redaksi

Editor: Kapan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *