UpdateiNews | Dumai, (12/05/25) – Krisis keadilan dalam konflik agraria kembali mencuat di Kota Dumai, Provinsi Riau. Seorang ibu rumah tangga berusia 57 tahun, Inong Fitriani, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Dumai dalam kasus dugaan pemalsuan surat tanah. Ironisnya, tanah tersebut adalah warisan keluarganya yang telah dikuasai sejak tahun 1961.
Yang lebih memilukan, laporan terhadap Inong datang dari seorang pengusaha Tionghoa yang baru mengklaim kepemilikan tanah pada tahun 2024, bermodal sertifikat yang baru terbit tahun 2000. Sengketa agraria yang seharusnya diselesaikan secara perdata justru dijerat pidana, mengindikasikan praktik mafia tanah yang mengancam hak-hak masyarakat kecil.
Saat Tanah Warisan Dijadikan Bukti Palsu
Keluarga Inong menegaskan bahwa mereka telah menempati dan mengelola lahan seluas 1.200 m² itu selama lebih dari enam dekade, lengkap dengan bukti pajak dan dokumen warisan. Namun tiba-tiba, status mereka berubah: dari pemilik sah menjadi tersangka pemalsu.
“Sertifikat mereka muncul puluhan tahun setelah kami kuasai di sana dengan membangun Kios yang disewakan oleh keluarga mama . Lalu tiba-tiba kami yang dituduh memalsukan? Ini bukan sekadar ketidakadilan, ini penghinaan atas akal sehat,” kata Rahmad, anak kandung Inong.
Anak Korban Juga Dilaporkan: Di Mana Keadilan?
Tak cukup menjerat sang ibu, kini Rahmad sendiri juga dilaporkan ke Polres Dumai atas dugaan ujaran kebencian setelah menyuarakan kebenaran di media sosial. Langkah hukum yang terus-menerus diarahkan kepada pihak keluarga korban ini menimbulkan pertanyaan besar: Di mana sebenarnya letak keadilan di negeri ini?
“Alih-alih mendapat perlindungan, kami malah dikejar-kejar. Hanya karena kami mempertahankan hak kami sendiri,” ujar Rahmad dengan nada getir.
Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Pakar hukum agraria Dr. Herman Siregar, SH, MH menilai bahwa penetapan tersangka terhadap Inong dan pelaporan terhadap anaknya menunjukkan keberpihakan institusi hukum terhadap pihak yang lebih kuat secara ekonomi.
“Ini kasus tumpang tindih hak, bukan pemalsuan. Tapi kenapa yang dilaporkan justru rakyat kecil yang selama ini tinggal di tanah itu?” tegasnya.
Desakan kepada Kapolda Riau dan DPRD Riau
Masyarakat sipil mendesak Kapolda Riau untuk segera turun tangan dan mengevaluasi proses penyidikan yang diduga sarat konflik kepentingan. DPRD Riau pun diminta membentuk panitia khusus untuk menyelidiki indikasi mafia tanah dan keterlibatan oknum aparat.
Untuk Siapa Hukum Ini Dibuat?
Kini keluarga Inong hanya bisa berharap agar Kejaksaan dan institusi penegak hukum yang tersisa masih memiliki nurani. Sebab jika suara rakyat kecil terus dibungkam dan keadilan hanya berpihak pada pemodal, maka hukum hanyalah alat pembungkam bukan pelindung.
“Kami bukan penjahat. Kami hanya mempertahankan tanah warisan. Tapi kini, ibu saya dituduh memalsu, saya pun dilaporkan. Apa ini wajah keadilan hari ini?” tutup Rahmad dengan mata berkaca-kaca. (*)
“Segala pihak yang disebut dalam pemberitaan ini memiliki hak untuk memberikan sanggahan, tanggapan, atau penjelasan sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.”
Rilis: Redaksi
Editor: When