LPS Pekanbaru: Solusi Ambisius di Tengah Kantong Kosong

UpdateiNews| Pekanbaru, (27/05/25) – Di tengah semangat Pemerintah Kota Pekanbaru mengakhiri era tumpukan sampah dan TPS liar, satu lembaga baru tengah digadang-gadang sebagai “pahlawan baru lingkungan“: Lembaga Pengelola Sampah (LPS).

Namun, ketika euforia peluncuran ini dikejar oleh realitas lapangan, sejumlah pakar mempertanyakan: apakah LPS benar-benar solusi, atau hanya wacana besar yang dilahirkan dalam tubuh yang lapar anggaran?

Terlalu Cepat, Terlalu Kosong?

Dr. Syarif Hidayat, pakar tata kelola daerah dari Universitas Riau, menilai pembentukan LPS terlalu terburu-buru tanpa perhitungan fiskal yang rasional.

“Mengalihkan beban pengelolaan dari kontraktor ke masyarakat itu baik secara prinsip. Tapi jika tidak dibarengi dukungan nyata, LPS hanya jadi simbol baru tanpa daya kerja,” ujar Syarif.

Menurutnya, efisiensi keuangan daerah saat ini justru mengharuskan Pemko untuk memperkuat infrastruktur eksisting, bukan membentuk lembaga baru yang butuh investasi ulang dari nol.

Mandiri Tapi Dibiarkan?

Dr. Vivi Kartikasari, peneliti lingkungan dan kebijakan publik, menyebut bahwa model LPS ini sangat rentan gagal karena mengandalkan semangat swadaya tanpa kerangka pendukung.

“Mandiri itu bukan berarti dilepas begitu saja. Bahkan koperasi saja perlu pembinaan. LPS ini disuruh mengelola logistik sampah, sementara banyak yang bahkan tidak punya kendaraan sendiri,” ujarnya.

Vivi juga menyoroti potensi konflik sosial, terutama jika warga diminta iuran tanpa pelayanan yang memadai.

“Bayangkan diminta bayar rutin, tapi sampah tetap menumpuk. Ini memicu kekecewaan, dan akhirnya LPS malah jadi sasaran kritik warga,” tambahnya.

Efisiensi atau Ilusi?

Kondisi keuangan Pemko Pekanbaru saat ini disebut tengah fokus pada efisiensi dan pengetatan belanja rutin. Anggaran untuk pengelolaan lingkungan dan kebersihan tidak mengalami lonjakan signifikan.

Menurut catatan BPKAD, alokasi belanja untuk pembentukan LPS tidak disertai dengan postur subsidi yang memadai.

Ahmad Irsan, aktivis lingkungan sekaligus konsultan sistem pengelolaan sampah terpadu, menyebut bahwa ini adalah jebakan klasik.

“Mereka ingin menghemat dari penghapusan kontrak swasta, tapi tidak sadar bahwa biaya sosial LPS jauh lebih besar jika gagal—dari ledakan TPS liar, protes warga, hingga potensi darurat kesehatan lingkungan,” tegasnya.

LPS Bisa Berhasil, Tapi Butuh Koreksi Arah

Para ahli sepakat, LPS tetap memiliki potensi jangka panjang jika dikelola dengan pendekatan yang realistis:

  • Zonasi pengelolaan berbasis kelurahan gabungan untuk efisiensi logistik
  • Skema iuran digital dan transparan agar masyarakat percaya dan mau bayar
  • Hibah armada skala mikro yang lebih murah dan fleksibel dibanding truk besar
  • Mitra daur ulang dan CSR untuk mengisi celah pendanaan operasional

“Kuncinya bukan siapa yang kelola, tapi bagaimana mereka didukung,” tutup Syarif.

Jangan Jadikan Sampah Sebagai Ladang Gagal Baru

Alih-alih menciptakan lembaga baru yang tak siap, Pemko Pekanbaru perlu menjawab tantangan nyata hari ini: keterbatasan dana, lemahnya infrastruktur, dan menurunnya kepercayaan warga. Jika tidak, LPS hanya akan menambah panjang daftar solusi semu yang mempercantik laporan, tapi mengotori realita kota.(*)

Rilis: Redaksi

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *