‎“LAM Riau, Warisan Adat atau Lembaga Jual Gelar?”

‎Perbarui Berita | Pekanbaru, Riau (6/07/25) – Di tanah Melayu yang berselimut adat, gelar adat bukan sekadar hiasan nama. Ia adalah tanda pengakuan tertinggi atas jasa, integritas, dan pengabdian seseorang kepada masyarakat dan budaya. Dalam sejarah panjang Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), gelar hanya diberikan setelah melalui musyawarah para tetua adat, mempertimbangkan rekam jejak, adab, dan ketulusan sang penerima.

‎Namun hari ini, sakralitas itu ternoda. ‎Gelar adat terasa murah, seperti brosur yang diedarkan di simpang empat. Publik berteriak, media sosial menggema: “ LAM jual gelar !”

‎🧭 Sejarah Gelar Adat: Bukan untuk Semua, Apalagi untuk Siapa Saja

‎Di masa lampau, gelar adat hanya disematkan pada:

  • ‎Pahlawan yang memaksa penjajah
  • ‎Tokoh masyarakat yang menyatukan rakyat
  • ‎Pemimpin yang memuliakan nilai Melayu, bukan membungkamnya

Pemberian gelar seperti Datuk Seri Setia Amanah, Datuk Seri Diraja, atau Raja Adil, selalu dilandasi prinsip “ beradat di hukum, berhukum di syarak, bersyarak kepada Kitabullah ”. Setiap gelar mengangkat beban moral yang berat, bukan sekadar tepuk tangan dan foto bersama.

‎Namun kini, gelar tampaknya tak lagi diambil dengan takaran adil. ‎ Sejumlah tokoh nasional, pejabat pusat, bahkan tokoh yang rekam jejaknya masih kabur di mata rakyat, tiba-tiba dianugerahi gelar adat.

‎Apakah ini dihargai… atau penghianatan terhadap nilai adat?

‎💣 Dana Proyek Hibah LAMR: Warisan Budaya atau Anggaran?

‎Skandal pun muncul. Dana hibah dari APBD Kota Pekanbaru tahun 2020 senilai Rp1 miliar, dikorupsi oleh pengurus LAMR sendiri. Yose Saputra dan Ade Siswanto kini jadi penjepit, didakwa menggelapkan lebih dari Rp723 juta.

‎Fakta di konferensi menyebutkan:

  • Banyak kegiatan fiktif
  • ‎Kepala palsu
  • ‎Dana cair, tapi tak jelas arahnya
  • ‎Bahkan dana adat dipakai untuk kepentingan pribadi

‎❗ Slogan Sakral atau Sekadar?

‎Apakah gelar adat masih sakral?

‎Ataukah kini ia menjadi alat legitimasi kekuasaan, untuk memeles citra, atau menyenangkan pejabat?

‎Apakah LAMR kini berdiri di atas nama adat… atau di atas nama kepentingan politik dan golongan?

‎Jika benar, maka kita sedang menyaksikan tragedi peradaban. ‎Bukan hanya korupsi materi, tapi juga korupsi nilai.

Harapan masyarakat untuk Membersihkan LAMR, Selamatkan Adat

  1. ‎Audit total keuangan LAMR (Provinsi, Kota, dan Kabupaten) sejak 2018
  2. ‎Hentikan pemberian gelar adat hingga aturan dan moralitas adat
  3. ‎Copot pengurus yang mencederai adat
  4. ‎Libatkan tokoh adat murni, bukan elit politik, dalam keputusan strategis

Budaya malu sangatlah penting sekaligus menjadi edukasi kepada generasi kedepan, yang kini terjadi  menjadi bahan tertawaan bagi yang tidak suka dengan negeri Melayu, ingatlah jangan hanya berlindung di bawah lembaga besar, saat ini negeri melayu sedang dijajah oleh bangsa sendiri.

‎Semestinya apa yang diperjuangkan dalan suatu tanggung jawab setiap ataupun golongan, yang berkaitan dengan Adat dan Tradisi, bertujuan agar generasi kedepan tetap mengenal siape pendahulunye.

‎Siapepun yang dalam proses berbeda cara dan sikap, tentunya itu bukanlah suatu hal yang di perdebatkan, ape lagi terkait hal yang secara Ilmumya layang-layang lemah, negeri Melayu ini membutuhkan pejuang bukan Pengkhianat.

‎Gelar adat bukan oleh-oleh. ‎Bukan cenderamata politik. ‎Ia adalah titipan leluhur dan janji kepada anak cucu.

‎Kalau gelar bisa dibeli, dan adat bisa ditukar dengan kuasa…

‎maka Melayu bukan lagi bangsa yang bermaruah, ‎melainkan bangsa yang sedang dilelang.(*)

Rilis: Opini| Pimpinan Redaksi

Editor: Kapan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *