UpdateiNews | Pelalawan, (18/06/25) – Cermin Investigasi Ribuan warga dari Pelalawan, termasuk mahasiswa, masyarakat Bukit Horas, Toro Jaya, dan Mamahan Jaya bersiap menduduki Kantor Gubernur Riau hari ini. Mereka membawa satu pesan tegas: “Kami tidak akan pergi dari tanah ini.”
Lahan yang dimaksud berada di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)—zona konservasi yang semestinya bebas dari aktivitas ekonomi skala besar. Namun, investigasi Cermin Satu menemukan bahwa konflik ini lebih dari sekadar persoalan relokasi warga. Di balik teriakan massa, tersembunyi praktik maladministrasi perizinan, ketimpangan hukum, dan dugaan perlindungan korporasi besar.
🧩 Konflik Lahan: Warga Dihukum, Korporasi Dibiarkan
Pada 10 Juni 2025, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menyita sekitar 81.000 hektar lahan di dalam kawasan TNTN. Dalam operasi tersebut, warga yang menanam sawit setelah 2015 dianggap perambah hutan lindung. Mereka diberi waktu 3 bulan untuk memanen sebelum dipaksa angkat kaki.
Namun di sisi lain, berdiri Pabrik Kelapa Sawit (PKS) skala besar seperti milik:
Semua beroperasi aktif, bahkan memiliki jalur logistik sendiri. Bahkan, sebagian areal operasional mereka tumpang tindih dengan garis batas TNTN.
“Hukum kita tumpul ke atas, tajam ke bawah. Kalau warga disebut perambah, bagaimana dengan PKS itu bisa berdiri megah di zona konservasi?” kata Dr. Ahmad Fauzi, pakar hukum agraria dari Universitas Islam Riau.
⚖️ Landasan Hukum: Konservasi Versus Kepentingan Ekonomi
Merujuk UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, kawasan taman nasional adalah wilayah yang dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya, kecuali untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
Namun, Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2015 mengatur bahwa penertiban kawasan hutan harus dilakukan dengan asas keadilan dan memperhatikan hak masyarakat hukum adat.
“Jika tanah sudah dikuasai sebelum ada penetapan kawasan hutan, masyarakat berhak menuntut pengakuan,” ujar Prof. Herlina Maharani, ahli tata ruang dari UI. Ia menambahkan bahwa “pemaksaan relokasi tanpa skema restitusi adalah pelanggaran hak ekonomi warga.”
💰 Jual Beli Lahan: Dugaan Mafia Tanah dan Stempel Desa
Dalam data investigasi, ditemukan surat jual beli tanah tertanggal 28 Maret 2023, lengkap dengan tanda tangan RT, RW, Kepala Dusun, dan stempel Desa Pangkalan Gondai. Lahan tersebut dibeli oleh seorang bernama Berlin Cs, dan diukur oleh Riduan, tukang ukur resmi desa.
Namun saat dikonfirmasi, pihak desa dan tokoh adat membantah keras keterlibatan dalam transaksi tersebut.
“Jika benar suratnya asli dan distempel, maka ini skandal administratif besar,” ujar Syahrul Nata, mantan auditor Ombudsman RI. “Ada indikasi praktik mafia tanah yang bermain atas nama warga, padahal lahan itu dalam kawasan taman nasional.”
🔥 Mobilisasi Massa: Aksi atau Instrumen Korporasi?
Warga yang melakukan aksi, sebagian besar adalah pemilik kebun 10–15 hektar. Sementara para toke besar, kata narasumber di Bukit Horas, “sudah kabur ke kota, tapi tetap mengirim uang agar demo tetap jalan.”
Fakta ini membuka pertanyaan serius: siapa sesungguhnya yang memobilisasi aksi?
Menurut pengamat sosial Dr. Riko Amrizal, ini adalah bentuk “proxy resistance” di mana warga digerakkan oleh kekuatan ekonomi yang enggan tampil ke permukaan.
“Negara gagal mengidentifikasi siapa pelaku, siapa korban. Masyarakat kecil dikorbankan, korporasi besar dilindungi dengan bungkam,” katanya.
🚨 Ultimatum Warga: Dialog atau Duduki Kantor Gubernur
Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan (AMMP) memberikan ultimatum 7×24 jam untuk difasilitasi bertemu Presiden Prabowo atau DPR RI. Jika tidak, mereka akan menduduki kantor Gubernur Riau tanpa batas waktu.
Dalam surat bernomor 002/AMMP/VI/2025, mereka meminta Kapolda, Gubernur, Bupati, dan Kejaksaan untuk menjadi garda terdepan perjuangan rakyat.
📌 Kesimpulan Investigasi:
Elemen Masalah Temuan
🛑 Rekomendasi Pakar:
1. Audit total izin PKS di kawasan TNTN.
2. Moratorium penggusuran warga sampai ada verifikasi komprehensif.
3. Libatkan Komnas HAM dan Ombudsman RI sebagai mediator konflik.
4. Evaluasi peran Pemkab Pelalawan dan pertanggungjawaban pemberian izin di kawasan hutan.
“Konflik lahan ini bukan semata pelanggaran kehutanan. Ini cermin kegagalan negara memanusiakan rakyat kecil sambil tunduk pada kekuatan modal.” Prof. Herlina Maharani, pakar tata ruang. (*)
Rilis: Redaksi
Editor: When
UPDATEINEWS | SIAK, (18/08/25) – Dugaan aroma busuk kembali menyeruak dari proyek pemerintah di Kabupaten…
UPDATEINEWS | PEKANBARU,(18/08/25) - Seusai upacara penurunan bendera HUT ke-80 RI, Minggu (17/8/2025), ribuan pasukan…
UPDATEINEWS | TERNATE,(18/08/25) -Aroma busuk korupsi kembali menyeruak dari tubuh birokrasi Maluku Utara. Kali ini,…
UPDATEINEWS | PEKANBARU,(18/08/25) - Rapat Paripurna DPRD Kota Pekanbaru yang seharusnya menjadi forum terhormat dalam…
UPDATEINEWS | MERANTI,(17/08/25) - Bertempat di Lembaga Kelas II-B Selatpanjang Kec. Tebing Tinggi Kab. Kep.…
UPDATEINEWS | PEKANBARU,((17/08/25) - Pekanbaru, UpdateiNews – Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau…
This website uses cookies.