Kasus SPPD Fiktif DPRD Riau: Jangan Berhenti pada Satu Tersangka, Publik Tak Mau Hanya Jadi Dagelan Politik

UPDATEINEWS | PEKANBARU, (16/08/25) – Kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif DPRD Riau dengan kerugian negara mencapai Rp195,9 miliar semakin menyedot perhatian publik. Namun hingga saat ini, penyidikan baru menetapkan satu tersangka, yakni Sekretaris DPRD Riau, Muflihun.

Langkah ini justru memunculkan tanda tanya besar: apakah kasus ini akan berhenti di satu nama saja, ataukah ada keberanian untuk menyeret pihak-pihak lain yang ikut menikmati aliran dana fiktif tersebut?

Secara struktur, Sekretaris Dewan hanyalah kepanjangan tangan administratif yang mengelola kebutuhan perjalanan dinas para anggota dewan. Dengan kata lain, SPPD muncul bukan karena kepentingan pribadi Sekwan, melainkan karena adanya permintaan, persetujuan, dan penggunaan langsung oleh anggota DPRD Riau, pimpinan komisi, hingga pimpinan DPRD sendiri.

Artinya, kerugian negara sebesar itu tidak mungkin hanya dinikmati oleh satu orang, melainkan oleh banyak pihak yang terlibat dalam sistem.

⚖️ Kecurigaan Publik: Ada Kepentingan Politik?

Publik pun bertanya-tanya:

– Apakah penetapan hanya satu tersangka ini sekadar “panggung politik” untuk meredam gejolak?

– Atau justru ada upaya melindungi elit DPRD Riau yang mestinya ikut bertanggung jawab?

– Jangan sampai proses hukum ini hanya menjadi dagelan publik yang berakhir antiklimaks.

Jika benar hanya berhenti di satu tersangka, publik berhak mencurigai bahwa ada bargaining politik yang sedang dimainkan.

Pengamat hukum tata negara, Dr. Bambang Surya Atmaja menegaskan,

“Mustahil dana hampir Rp200 miliar hanya berhenti pada satu pejabat administratif. Jika hanya Sekwan yang dipidana, itu artinya hukum kita dipermainkan.”

Sementara itu, kalangan aktivis antikorupsi mendesak Polda Riau agar berani menelusuri hingga ke pucuk pimpinan DPRD Riau, termasuk Ketua DPRD Yulisman dan para wakilnya, yang secara fungsi memiliki kewenangan pengawasan dan persetujuan anggaran.

Kini, bola ada di tangan aparat penegak hukum. Apakah Polda Riau akan konsisten membuka tabir keterlibatan elit politik di DPRD, ataukah kasus ini akan berhenti sebagai simbol perlawanan semu terhadap korupsi yang berakhir tanpa menyentuh aktor utama?

Satu hal pasti: masyarakat tidak butuh sandiwara, masyarakat menuntut keadilan yang transparan dan tuntas.

  • Rakyat tidak butuh tumbal.
  • Rakyat tidak butuh drama.
  • Rakyat butuh kebenaran, keadilan, dan keberanian.

Jika kasus ini berhenti di satu tersangka, maka jelaslah: hukum di negeri ini masih tunduk kepada kursi empuk dan tanda tangan politik.

Tuntaskan! Seret semua yang terlibat! Jangan biarkan Sekwan menjadi kambing hitam, sementara dalang sesungguhnya tertawa di balik meja pimpinan. (*)

Rilis: Redaksi

Editor: Wheny 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *