UPDATEINEWS|PEKANBARU,(10/09/25) – Nama Tengku Fauzan Tambusai pernah menjadi sorotan publik Riau ketika dirinya terseret dalam skandal perjalanan dinas fiktif di Sekretariat DPRD Provinsi Riau. Kasus yang mencuat sejak 2024 itu menelan kerugian negara miliaran rupiah dan menjerat Fauzan ke balik jeruji. Ia sudah divonis bersalah dan kini menjalani hukuman penjara.
Namun pertanyaan besar masih menggantung: apakah dengan dipenjarakannya seorang pejabat, budaya korupsi di DPRD Riau benar-benar berakhir?
Sebagai Plt. Sekwan DPRD Riau, Fauzan hanya menjabat dalam hitungan bulan. Di masa singkat itu, ia dituding memberi perintah pembuatan dokumen pertanggungjawaban perjalanan dinas yang ternyata fiktif. Jaksa menuntut delapan tahun penjara, sementara pengadilan menjatuhkan vonis lebih ringan. Putusan Mahkamah Agung kemudian menguatkan hukuman sehingga eksekusi dijalankan.
Kasus ini menimbulkan ironi. Mungkinkah miliaran rupiah lenyap hanya dalam waktu beberapa bulan? Ataukah Fauzan sekadar mewarisi sistem bobrok yang sudah lama bercokol di Sekretariat DPRD? Pertanyaan ini penting, sebab perjalanan dinas fiktif bukan modus baru. Hampir di setiap daerah, praktik ini selalu menjadi jalan pintas menguras uang rakyat dengan cara paling sederhana: mengarang kegiatan dan melipatgandakan biaya perjalanan.
Publik tentu berhak curiga bahwa korupsi di DPRD tidak pernah berdiri sendiri. Ada kultur berjamaah, ada birokrasi yang saling melindungi, dan ada celah aturan yang sengaja dibiarkan terbuka. Dalam logika itulah, kasus Fauzan seharusnya tidak dianggap selesai hanya dengan masuknya seorang pejabat ke penjara.
Hari ini DPRD Riau masih bekerja, masih mengelola miliaran anggaran, dan masih memiliki ruang gelap dalam penggunaan dana perjalanan dinas. Lalu, siapa yang memastikan praktik lama itu benar-benar dihentikan?
Kasus Fauzan harusnya menjadi pelajaran kolektif. Publik tidak boleh cepat melupakan. Karena jika masyarakat lengah, pola lama akan hidup kembali dengan wajah baru.
Vonis penjara bukan akhir dari cerita, melainkan awal untuk mengawasi DPRD lebih ketat. Jika sistem tidak dibenahi, maka penjara hanya akan menjadi antrean panjang bagi pejabat berikutnya.(*)