UPDATEINEWS|JAKARTA,(10/09/25) – Di tengah persepsi publik bahwa hukum sering terasa tajam ke bawah namun tumpul ke atas, hadir sosok jaksa yang memilih jalur berbeda: Esterina Nuswarjanti. Ia mengedepankan hati nurani lewat pendekatan Restorative Justice (RJ), memberi ruang maaf dan pemulihan tanpa harus selalu menjatuhkan vonis penjara.
“(Kalau) Tuhan saja mengampuni, masa kita manusia tidak bisa?” ucapnya lirih dalam sebuah wawancara.
Prinsip itu ia pegang saat menangani perkara pidana ringan pencurian kecil karena desakan ekonomi, perkelahian remaja, hingga kasus yang bisa diselesaikan secara damai. Menurut Ester, menghukum lewat persidangan memang mudah, tapi memulihkan hubungan sosial jauh lebih bermakna.
Hukum yang Menghidupkan, Bukan Mematikan
Restorative Justice bukan sekadar prosedur. Ia menuntut dialog, kepekaan, dan keberanian. Korban diajak bicara, pelaku diberi kesempatan menebus kesalahan, tokoh agama dan masyarakat dilibatkan. Dari situ, hukum terasa hidup menyentuh sisi kemanusiaan yang sering hilang di ruang sidang.
“Kalau korban sudah memaafkan, luka sudah pulih, lalu apa lagi yang kita kejar dari hukuman?” tutur Ester.
Namun, jalur RJ bukan tanpa risiko. Membawa keadilan dengan nurani berarti jaksa harus berhadapan dengan pandangan skeptis: ada yang khawatir pelaku bisa mengulang, ada pula yang menilai RJ bisa disalahgunakan.
Asisten Intelijen Kejati DIY, Agus Rujito, menegaskan pentingnya keseimbangan: “Jaksa harus tetap patuh SOP, tapi juga jangan melupakan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat.”
Catatan untuk Kita Semua
Cerita Esterina adalah pengingat bahwa hukum seharusnya bukan hanya alat menakut-nakuti, tapi juga sarana memulihkan. Di tengah derasnya kritik terhadap aparat penegak hukum, hadirnya model penanganan yang humanis bisa menjadi oase bagi rakyat kecil.
Tetapi pertanyaan besarnya: apakah semangat RJ bisa konsisten dijalankan di seluruh negeri, atau hanya berhenti jadi jargon manis di kota-kota besar?
Sebab, hukum yang benar-benar adil adalah hukum yang bisa dirasakan hingga ke pelosok, bukan sekadar di podium seminar.(*)