Hiri: Masyarakat Pinggiran dan Keberpihakan Pemerintah Kota Ternate

Opini Oleh: Jumhar Malik (Pemuda Hiri)

UpdateiNews | Ternate,(23/06/25) – Keteduhan ombak dan lautan yang tenang, melepas derasnya hujan sambil mendengar burung berkicau—pagi itu senyumku mengembang, melihat masyarakat mulai beraktivitas sesuai peran masing-masing. Namun, jauh di balik rona pagi itu, masih terdengar tangis yang belum terbayar. Tangis masyarakat Pulau Hiri, yang hingga hari ini, masih seperti bayang-bayang yang dilupakan oleh Pemerintah Kota Ternate.

Pulau Hiri, permata di utara Pulau Ternate, Maluku Utara, adalah surga tersembunyi. Dihuni oleh masyarakat lokal yang terbagi dalam enam kelurahan pesisir, Hiri memancarkan pesona alam dan kekayaan budaya yang khas. Tradisi Se-Atorang dijunjung tinggi, menjadikan Hiri bukan sekadar pulau, tapi taman budaya yang hidup.

Namun keindahan itu ironis—karena pembangunan seperti enggan menyentuh pulau ini. Keberpihakan Pemerintah Kota Ternate dalam proses pembangunan terasa timpang. Padahal sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 telah menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dan pemerataan pembangunan.

Keresahan yang Disalurkan, Tapi Tak Didengar

Masyarakat Hiri telah bersuara melalui wakilnya di DPRD, sebagaimana dijamin oleh UU Nomor 23 Tahun 2014. Pasal 149 ayat (1) menegaskan fungsi DPRD sebagai pengawas pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik. Namun dalam kenyataannya, suara dari Hiri seperti gema yang hilang di balik bukit diabaikan, dipinggirkan, tak menjadi prioritas.

Pulau Hiri terus mendapatkan stigma sebagai “masyarakat pinggiran”: terisolasi, tertinggal, dan rentan menjadi objek politik praktis. Berbagai media telah menyuarakan ini, namun respons pemerintah hanya seperti mengisi “boks kosong” dalam administrasi pembangunan. Janji-janji menguap seperti kabut pagi.

Apakah mereka lupa makna sejati pembangunan? Bukankah tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tertera di sila kelima Pancasila?

Kami Tak Butuh Kemewahan, Hanya Sentuhan Nyata

Masyarakat Pulau Hiri tidak menuntut gedung pencakar langit atau jalan tol bertingkat. Kami hanya meminta keberpihakan dalam bentuk kebijakan nyata yang menyentuh kebutuhan dasar: infrastruktur, pendidikan, layanan kesehatan, dan jaminan lingkungan yang lestari.

Status “Pulau Layak Anak” yang disematkan oleh Kementerian Perlindungan Anak pada 2017 adalah simbolik. Yang dibutuhkan sekarang adalah pembuktian nyata bahwa pemerintah benar-benar hadir dalam kehidupan warga Hiri.

Kebijakan Serampangan, Legitimasi Tergerus

Dalam logika hukum alam, kekuasaan hanya sah sejauh berpihak pada kepentingan umum. Dalam kerangka demokrasi, legitimasi pemerintahan bergantung pada kemampuannya menjawab kebutuhan rakyat.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah tampak hanya memprioritaskan wilayah tertentu, dan pembangunan seolah mengikuti peta kekuasaan, bukan peta keadilan.

Larry Diamond pernah menyebut tiga krisis dalam pemerintahan:

1. Ketiadaan akuntabilitas dan supremasi hukum,

2. Ketidakmampuan mengelola keragaman,

3. Stagnasi ekonomi.

Ketiganya seperti menjelma dalam wajah kebijakan yang dihadapi Pulau Hiri hari ini.

💰 Kutipan Anggaran Pemerintah Kota Ternate

1. RAPBD Kota Ternate 2025

Total pendapatan daerah diproyeksikan sebesar Rp 1,081 triliun, terdiri dari PAD Rp 151,7 miliar dan transfer Rp 923,3 miliar .

Total belanja daerah dirancang Rp 1,078 triliun:

Belanja operasi Rp 962,6 miliar (89 %), termasuk belanja pegawai dan barang/jasa .

Belanja modal Rp 104,4 miliar (9,66 %)—termasuk infrastuktur dasar, gedung, jalan .

2. Program Strategis Pulau Hiri – Dermaga Sulamadaha

Tahun 2024 dialokasikan Rp 13–13,5 miliar untuk pembangunan & lanjutan dermaga penyeberangan Sulamadaha–Hiri, beserta fasilitas ruang tunggu, penerangan jalan, sanitasi .

Meski demikian, masyarakat mempertanyakan transparansi dan realisasi dari dana ini—ada sepenggal konflik soal “anggaran Rp 12 miliar” pelabuhan Hiri yang belum jelas progresnya .

3. Belanja Modal di Tengah Fokus Lain

Pada 2025, belanja modal keseluruhan sebesar Rp 104,4 miliar, namun masyarakat masih merasakan minimnya sentuhan barang modal di wilayah Pulau Hiri—sebagaimana Bappelitbang menyebut pembangunan dermaga ikut masuk, tapi terasa tak tuntas .

4. Isu Transfer & Pembiayaan APBD

Ada alokasi Rp 17 miliar selama empat tahun (2022–2025) untuk pembangunan gedung Polres, yang dinilai sebagian publik kurang pro-rakyat dan memicu pertanyaan terkait prioritas anggaran .

“Dari dokumen Rancangan APBD 2025, terlihat total pendapatan daerah Rp 1,081 triliun dan belanja Rp 1,078 triliun, dengan alokasi modal Rp 104 miliar (hanya 9,6 %)—yang dirasakan belum merambah Hiri secara signifikan. Meski dialokasikan Rp 13–13,5 miliar untuk dermaga Sulamadaha–Hiri di APBD 2024, masyarakat masih mempertanyakan progres dan transparansi penggunaan dana tersebut. Sementara hampir Rp 17 miliar lari untuk pembangunan gedung Polres selama empat tahun berdampak pada minimnya dana nyata untuk warga Hiri.”

Kesimpulan Kuat

Angka konkret Rp 13–13,5 miliar untuk dermaga memperjelas bahwa ada janji, tapi belum jelas progresnya.

Persentase belanja modal hanya 9,6 % dari total belanja menunjukkan ketimpangan prioritas.

Alokasi ratusan miliar untuk urusan lain (gedung penegak hukum) jadi bukti realokasi anggaran yang pro-institusi, bukan pro-rakyat pinggiran.

Penutup: Pisahkan Kata dari Dusta

Mari kita pisahkan kata dari dusta. Mari kita satukan garis batas antara identitas dan komunitas, agar semuanya jelas, agar semuanya tuntas. Supaya tak ada lagi yang ditindas. Karena di balik sunyi Pulau Hiri, ada harapan yang ingin tumbuh. Jangan biarkan ia layu karena abai kebijakan.(*)

Rilis: Taslim | Redaksi

Editor: When

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *