UpdateiNews | Kepulauan Meranti, Riau (27/07/25) — Di ujung timur Sumatra, ribuan nyawa menggantungkan harapan pada arus laut yang tenang tapi tak menjanjikan. Setiap bulan, puluhan hingga ratusan warga Kepulauan Meranti meninggalkan kampung halaman, bukan untuk liburan, tapi untuk bertahan hidup. Malaysia menjadi tujuan, meski jalan yang ditempuh tak selalu legal.
“Kalau tak ke Malaysia, nak makan apa anak-anak kami?” ucap Wandi, seorang kepala keluarga di Merbau, sembari menggenggam paspor usangnya. Ia tak sendiri. Menurut data tidak resmi yang dihimpun LSM lokal, lebih dari 10.000 warga Meranti kini berada di Malaysia sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI), dan sebagian besar berangkat tanpa dokumen kerja resmi.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Tapi kini skalanya semakin masif, seiring stagnasi ekonomi lokal dan minimnya lapangan kerja layak di kabupaten kepulauan yang berbatasan langsung dengan negeri jiran itu. Di tengah keterbatasan perikanan, perkebunan, dan sektor UMKM yang belum mampu menyerap tenaga kerja secara signifikan, Meranti justru menjadi “ladang pengirim buruh migran.”
“Mereka pergi karena negara gagal hadir menyediakan peluang di tempat asal,” ujar Dr. Herry Kurniawan, pakar migrasi dari Universitas Riau. “Eksodus ini bukan karena mereka tak cinta tanah lahir, tapi karena mereka dipaksa oleh sistem yang tak memberi pilihan.”
Migrasi Terpaksa, Bukan Pilihan Bebas
Kebanyakan warga Meranti yang ke Malaysia menggunakan visa kunjungan pelancong, lalu bekerja sebagai buruh kasar, pekerja pabrik, atau asisten rumah tangga. Mereka tidak tercatat dalam sistem perlindungan tenaga kerja formal Indonesia, sehingga rentan jadi korban eksploitasi, penahanan, hingga kekerasan.
Ari (27), pemuda yang baru kembali dari Johor, menunjukkan bekas luka di tangan akibat kecelakaan kerja. “Majikan tak kasih jaminan. Kita kerja terus, walau sakit. Tapi, di sana bisa bawa pulang Rp3-5 juta sebulan. Itu besar bagi kami di kampung.”
Namun, banyak pula yang tak seberuntung Ari. Beberapa ditangkap otoritas Malaysia karena overstay atau tak punya izin kerja. Ada yang hilang kontak selama bertahun-tahun. Bahkan tak sedikit yang dipulangkan dalam peti jenazah, tanpa tahu pasti apa yang terjadi.
Negara Masih Absen
Meski daerah terus mengirim “pahlawan devisa” dalam diam, kebijakan perlindungan dan penyediaan kerja dari pemerintah pusat maupun daerah masih belum menyentuh akar masalah. Koordinasi antarlembaga lemah. Sosialisasi migrasi aman nyaris tak terdengar. Dan pelabuhan keberangkatan internasional di Selatpanjang, alih-alih memperketat pengawasan, justru menjadi pintu masuk praktik migrasi nonprosedural.
“Remitansi mereka menopang ekonomi lokal, tapi siapa yang menopang keselamatan mereka?” tanya Evi Santika, pegiat migrasi dari Serumpun Foundation. “Kalau tidak segera ada solusi struktural, kita akan terus membiarkan warga jadi korban sistem.”
Wajah Ekonomi yang Bergantung pada Diaspora
Ironisnya, ekonomi desa justru menggeliat setiap kali musim pulang PMI tiba. Warung ramai, tukang bangunan sibuk, dan rumah-rumah kayu diganti beton. Anak-anak bisa sekolah, utang lunas, dan konsumsi lokal naik.
Namun, geliat itu berdiri di atas fondasi rapuh: jerih payah para pekerja migran yang mempertaruhkan keselamatan demi rupiah. Mereka bukan sekadar buruh. Mereka adalah penopang ekonomi desa yang tak diakui secara formal.
BOX INFOGRAFIS (Investigasi Media):
- Profil Pekerja Migran Meranti di Malaysia
- Jumlah tak resmi: ±10.000 orang
- Jalur keberangkatan: Mayoritas nonprosedural (visa pelancong)
- Profesi dominan: Buruh kebun, pekerja konstruksi, ART
- Risiko utama: Deportasi, eksploitasi, kecelakaan kerja, penahanan
Harapan yang Tak Boleh Terus Menyeberang
Di tengah krisis yang terus berjalan dalam senyap, ribuan warga Meranti hanya berharap satu hal: bisa hidup layak tanpa harus meninggalkan tanah kelahiran. Pemerintah punya tugas besar, bukan hanya membanggakan angka remitansi, tapi menghentikan eksodus terpaksa ini dengan menyediakan kehidupan yang bermartabat di kampung sendiri.(*)
Rilis: Redaksi
Editor: Wheny