UpdateiNews | Pulau Morotai, Ternate (2/08/25) – Di tanah yang semestinya melahirkan generasi emas, justru tumbuh luka yang menganga. Di balik pagar sekolah, di balik papan nama institusi pendidikan negeri, tumbuh gelap yang mengendap. Kali ini, aroma busuk itu datang dari Pulau Morotai, Maluku Utara. Seorang Kepala Sekolah SMA Negeri, berinisial AU (37), diduga telah melecehkan secara seksual lima siswanya sendiri.
Tak cukup satu kali. Tak cukup satu tempat. Kejadian dilaporkan berlangsung pada April, Juni, dan Juli 2025, tidak hanya di ruang kelas, tapi juga di rumah dinas kepala sekolah. Ini bukan hanya pelecehan seksual. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah, terhadap martabat profesi guru, dan terhadap masa depan anak bangsa.
Kabar ini pertama kali meletup lewat pemberitaan media @Tandaseru, Selasa, 31 Juli 2025 pukul 15.25 WIT, dan langsung memantik perhatian publik. Tak butuh waktu lama, Law Firm Iksan Maujud and Partners, melalui Muammar Jafril, Koordinator Bidang Pidana, angkat bicara lantang.
“Ini bukan sekadar skandal internal sekolah. Ini adalah kejahatan terhadap anak di bawah umur, dilindungi oleh Undang-Undang. Kita tidak boleh membiarkannya menguap begitu saja,” ujarnya kepada Updatenews, Sabtu (2/8/2025).
Muammar menegaskan, kasus ini harus dijerat dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kedua aturan tersebut bukan hanya memberi ancaman sanksi pidana berat, tapi juga menegaskan bahwa negara menempatkan anak dalam posisi subjek hukum yang dilindungi secara menyeluruh—bukan objek yang bisa dikorbankan.
“Jika benar terjadi, maka ini adalah bentuk perampasan hak hidup anak-anak secara psikologis, sosial, bahkan spiritual. Dan pelakunya bukan orang biasa. Dia kepala sekolah,” tegasnya.
Lebih dari sekadar tindakan menyimpang personal, Muammar menyoroti kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat, mengingat lokus kejadian berada di ruang kelas dan rumah dinas. Artinya, ada potensi pembiaran atau bahkan partisipasi dari pihak-pihak sekitar.
“Saya curiga, ini bukan kerja satu orang. Ada pola. Ada pengulangan. Ada tempat. Dan bisa jadi ada pelindung. Jika ini benar, maka yang kita hadapi bukan sekadar kasus pencabulan, tapi struktur sistemik kekerasan di lembaga pendidikan kita.”
Ia menyebut potensi tindak pidana turut serta (medepleger), pendorong (uitlokker), atau bahkan penyuruh (doen pleger) bisa terjadi. Semua itu, katanya, bergantung pada keberanian penyelidik dan penyidik untuk menggali lebih dalam.
Yang tak kalah disorot tajam oleh Law Firm ini adalah sikap Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai. Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak pemkab, padahal dugaan pelecehan ini terjadi di bawah kewenangan langsung mereka.
“Ini terjadi di wilayah administrasi mereka. Di institusi pendidikan yang mereka biayai. Apakah mereka akan bungkam? Harusnya tidak. Pemerintah tidak boleh cuci tangan!”.
Muammar menyebut bahwa peristiwa ini semestinya menjadi pemicu pembenahan menyeluruh sistem pendidikan dan pengawasan guru di Morotai, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang rawan pengawasan.
Law Firm Iksan Maujud & Partners menyatakan komitmen untuk mengawal kasus ini hingga ke pengadilan, bahkan siap menjadi mitra hukum bagi para korban jika diperlukan. Tapi mereka juga menyentil isu yang lebih besar: budaya diam di sekolah.
“Sekolah kita masih terlalu vertikal, terlalu menakutkan bagi siswa untuk bicara. Anak-anak takut. Guru terlalu berkuasa. Sistem kita masih feodal dalam diam. Ini harus dirombak,” kata Muammar.
Di akhir pernyataannya, Muammar mengutip bunyi Pasal 4 UU Perlindungan Anak:
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan.”
“Sekali pelecehan seksual terjadi, maka semua hak itu runtuh. Anak menjadi mayat berjalan. Dan saat pelakunya adalah guru, maka kita sedang menyaksikan penghancuran generasi oleh tangan yang seharusnya mendidik.”
Ia menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan pendidikan, untuk menjadikan kasus ini sebagai alarm nasional. Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya merusak masa depan pribadi korban, tapi menghancurkan satu blok generasi bangsa.
Redaksi media ini menegaskan akan terus mengikuti perkembangan kasus ini, menghubungi pihak sekolah, pemerintah daerah, serta aparat penegak hukum. Kami juga membuka ruang kepada korban dan keluarga untuk bersuara, dan menolak segala bentuk normalisasi kekerasan seksual di institusi pendidikan.
Diam berarti ikut bersalah. Membela pelaku adalah membunuh korb inian untuk kedua kalinya.(*)
Rilis: Taslim
Editor: Wheny
UPDATEINEWS|PEKANBARU,(03/08/25) - Tim Opsnal Polsek Binawidya berhasil membongkar sindikat pencurian kendaraan bermotor (curanmor) yang meresahkan…
UPDATEINEWS | DUMAI,(03/08/25)- Skandal perselingkuhan guru P3K SD Negeri 002 Dumai selatan, Fahroini, dan pejabat…
Kelalaian Fatal di Tengah Kota: Pekerja Kebersihan Tersengat Listrik Saat Bersihkan Gedung UOB Pekanbaru UPDATEINEWS…
UPDATEINEWS | PEKANBARU,(2/08/25) — Sebanyak 29 putra-putri terbaik asal Riau lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri…
UPDATEINEWS | PEKANBARU,(2/08/25) – Pemerintah Kota Pekanbaru resmi mengambil langkah tegas dalam menertibkan lalu lintas…
UpdateiNews | Siak, Riau (2/08/25) — Kekuatan Partai Golkar di Kabupaten Siak kembali jadi sorotan.…
This website uses cookies.