UpdateiNews | Pekanbaru,(28/06/25) -Ketika negara mencairkan dana ratusan juta rupiah kepada lembaga seperti KONI Pekanbaru tanpa dokumen pertanggungjawaban yang lengkap, publik berhak murka. Saat Kejari Pekanbaru menerima barang mewah dari Pemerintah Kota tanpa LPJ yang utuh, maka yang dipertaruhkan bukan hanya akuntabilitas keuangan tapi kehormatan institusi hukum itu sendiri.
Dan ketika semua itu dibiarkan menguap sebagai “kesalahan administratif”, maka yang sebenarnya sedang berjalan adalah perusakan sistematis terhadap kepercayaan rakyat terhadap negara.
Temuan BPK RI soal hibah Rp450 juta kepada KONI Pekanbaru tanpa LPJ saat audit dilakukan adalah tamparan keras bagi integritas birokrasi daerah. Apalagi pihak Dispora dan KONI justru berlindung di balik klaim bahwa “LPJ sudah diserahkan belakangan”.
Padahal, dalam tata kelola keuangan negara, laporan pertanggungjawaban bukan formalitas administratif, tapi prasyarat mutlak pencairan tahap selanjutnya. Artinya, jika LPJ disusulkan setelah audit, maka yang sedang dijalankan adalah pembenaran terhadap pelanggaran.
Masalah ini tak bisa dilihat semata-mata dari sisi dokumen. Ini bukan hanya “kasus dana KONI”, tapi gambaran betapa longgarnya pengawasan dana hibah dari APBD Pekanbaru tahun 2024 yang mencapai Rp69,3 miliar.
Lebih jauh lagi, ketika hibah barang mewah disalurkan kepada Kejaksaan Negeri, sebuah lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan dan pengawas anggaran, maka yang dipertaruhkan adalah etika kelembagaan. Di mana marwah hukum, jika penerima hibah justru lembaga yang seharusnya mengawasi praktik anggaran?
Drama klasik kembali terulang: semua pihak menyatakan “sudah melakukan tugasnya”. KONI bilang sudah menyerahkan LPJ. Dispora bilang tinggal meneruskan ke Inspektorat. Inspektorat diam. Walikota belum bicara. DPRD? Seperti biasa, absen dari pusaran.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab saat uang rakyat mengalir tanpa kendali?
Jawabannya: semuanya bertanggung jawab. Tapi justru karena semua bertanggung jawab, maka tak ada satu pun yang mau disalahkan.
Kejanggalan hibah barang ke Kejari membuka kemungkinan konflik kepentingan yang dilegalkan oleh dokumen NPHD. Di satu sisi, Kejari adalah penegak hukum yang berwenang menyelidiki pelanggaran keuangan daerah. Di sisi lain, ia justru menjadi penerima fasilitas dari eksekutif yang berpotensi diselidikinya.
Ini bukan hanya masalah prosedur, tapi masalah etika, moral, dan independensi hukum.
Ketika auditor bicara, tapi birokrat berdalih—maka aparat penegak hukum yang netral perlu bertindak. Kapolda Riau Irjen Pol Mohammad Iqbal harus membuka jalur investigasi mendalam untuk mengusut apakah ini hanya kelalaian atau sudah masuk ranah dugaan tindak pidana.
Publik berhak tahu:
Ketika uang publik bisa dicairkan tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, dan institusi hukum pun ikut menerima “hadiah” tanpa rasa malu, maka yang sedang berjalan bukan hanya pelanggaran prosedur. Tapi pembusukan sistemik yang membuat publik apatis dan keadilan kehilangan gigi.
Saatnya kita bertanya dengan jujur:
Rilis: Redaksi
Editor: When
UPDATEINEWS|PEKANBARU,(2/10/25) – Kabar baik bagi pekerja non formal di desa, khususnya guru Madrasah Diniyah Awaliyah…
UPDATEINEWS|MERANTI,(2/10/25) - Polres Kepulauan Meranti menggelar kegiatan Supervisi Penyusunan Kajian Kebijakan Penyelenggaraan Personil Polri di…
UPDATEINEWS|MERANTI,(2/10/25) - Polres Kepulauan Meranti melalui Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) memasang plang peringatan larangan membakar…
Oleh: Redaksi UPDATEINEWS|PEKANBARU,(1/10/25) - Sekretaris Daerah Riau, Syahrial Abdi, menyampaikan Nota Pengantar Perubahan APBD 2025…
UPDATEINEWS|JAKARTA,(30/08/25) - Jaksa Agung ST Burhanuddin akhirnya menuntaskan kekosongan jabatan Jaksa Agung Muda Pembinaan (JAMBin)…
UPDATEINEWS|PEKANBARU,(30/09/25) – Menjelang Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025,Kader inti pemuda anti narkoba (KIPAN) Kota…
This website uses cookies.