UpdateiNews | Pekanbaru, (10/05/25) – Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial Bkl yang bekerja di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau, diduga menjadi dalang dari kejahatan keji yang menyasar seorang lansia rentan—Yuharti Yusuf, 75 tahun, pensiunan guru yang hidup seorang diri. Kasus ini menyeruak sebagai potret telanjang bagaimana seorang pejabat publik menyalahgunakan status sosial dan kepercayaan untuk merampas hak orang lain secara sistematis.
Perilaku Bkl dalam kasus ini bukan hanya licik, tetapi menunjukkan pola manipulasi yang terstruktur. Dengan berpura-pura peduli terhadap kesedihan korban yang baru saja kehilangan anak gadisnya, Bkl mendekati Yuharti secara emosional. Ia menawarkan ‘bantuan’ dengan membeli rumah korban seharga Rp600 juta, namun dengan dalih pengurusan dokumen, ia meminta Sertifikat Hak Milik (SHM) rumah korban.
Bukannya membeli secara sah, Bkl justru membaliknamakan sertifikat ke atas nama istrinya, KDS—yang diketahui adalah anak seorang mantan Bupati dan eks anggota DPRD. Sertifikat tersebut kemudian diagunkan secara sepihak ke BPR Hasanah. Ironisnya, meski dana pinjaman sebesar Rp450 juta dikirim ke rekening Yuharti, pelaku meminjam kartu ATM korban dan secara diam-diam menguras seluruh isi rekening, memindahkannya ke rekening istrinya dan anaknya.
Tidak berhenti di sana, Bkl juga diduga menilep uang santunan kecelakaan sebesar Rp8 juta, yang diterima Yuharti usai ditabrak kendaraan saat Idulfitri. Lebih buruk lagi, ia membuat kesepakatan damai dengan pihak penabrak tanpa seizin korban. Ini bukan hanya penipuan, tapi juga pelecehan terhadap hak-hak hukum seorang warga negara.
Kini, Yuharti terbaring lemah di rumah sakit akibat patah tulang kaki dan tangan, sementara rumah satu-satunya yang ia miliki terancam disita bank. Di tengah kondisi kritis tersebut, sang pelaku justru menghilang, tak dapat dikonfirmasi dan memblokir komunikasi.
Pakar Hukum: Ini Bukan Sekadar Penipuan, Tapi Kejahatan Terencana
Dr. Andri Wijaya, SH, MH, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, menilai tindakan Bkl memenuhi unsur kejahatan berencana dengan pemberatan.
“Ini bukan kasus kelalaian atau sengketa perdata. Tindakan pelaku memenuhi unsur fraud yang disengaja, terencana, dan dilakukan berulang. Ia menyalahgunakan posisi sosial sebagai ASN dan tetangga untuk mengeksploitasi korban yang sangat rentan secara psikologis dan fisik,” tegas Dr. Andri.
Ia menambahkan bahwa pelaku bisa dijerat Pasal 378 KUHP (Penipuan), Pasal 372 KUHP (Penggelapan), dan Pasal 263 KUHP (Pemalsuan Surat), dengan potensi hukuman kumulatif lebih dari 10 tahun penjara.
“Lebih jauh, ini bisa masuk ke ranah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jika dana yang diambil dialihkan ke rekening keluarga untuk menyamarkan asal usulnya,” jelasnya.
Desakan Proses Hukum dan Keadilan untuk Korban
Kuasa hukum Yuharti telah melaporkan Bkl ke Ditreskrimum Polda Riau, melampirkan dokumen perjanjian bermeterai yang menyatakan pelaku akan membayar rumah paling lambat 28 Februari 2025. Namun hingga kini, tak ada pembayaran, tak ada niat baik, hanya keheningan yang menampar nurani.
“Jangan sampai hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Kami mendesak agar pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan segera ditahan,” kata kuasa hukum korban.
Di tengah sistem yang acap abai terhadap nasib orang kecil, kisah Yuharti adalah peringatan keras bahwa pengkhianatan terhadap kemanusiaan tak boleh ditoleransi, apalagi jika dilakukan oleh seorang ASN—abdi negara yang seharusnya melindungi, bukan memangsa.
“Kalau memang tidak sanggup bayar, tolong sertifikat rumah Mama dikembalikan,” ucap Yuharti lirih, suara yang seharusnya menggema di ruang-ruang keadilan negeri ini. (*)
“Pemberitaan ini disusun berdasarkan fakta dan keterangan yang diperoleh dari sumber terpercaya dan dokumen hukum. Redaksi menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan UU Pers.”
Rilis: Redaksi
Editor: When