“Bukan Sekadar Penerima: Sidang Suap Risnandar Bongkar Jaringan Setoran Pejabat ‘Bersih’ Pemko Pekanbaru

UpdateiNews | Pekanbaru, (30/04/25) – Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa siang (29/4), mendadak hening saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuka lembar dakwaan perkara suap yang menjerat mantan Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa, dan eks Sekda Indra Pomi Nasution. Namun, bukan hanya nama terdakwa yang membuat publik tercengang. Daftar panjang kepala dinas yang disebut JPU sebagai pemberi suap memunculkan pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya inisiator korupsi ini? Dan atas kepentingan siapa uang disetor?

Nama-nama yang selama ini dielu-elukan sebagai teladan integritas kini tercatat sebagai bagian dari sistem setoran yang menyokong birokrasi korup. Kepala dinas setingkat eselon II, yang mestinya jadi garda pengawasan anggaran, justru terlibat aktif dalam praktik bagi-bagi uang.

Jaksa menyebutkan bahwa total suap yang diterima Risnandar mencapai Rp895 juta, sementara Indra Pomi diduga menerima Rp1,225 miliar dari tangan para pejabat Pemko Pekanbaru. Jumlah yang tidak kecil, namun justru lebih mencolok adalah motif di baliknya: bukan sekadar gratifikasi, tapi bentuk “jaminan kelancaran program”, termasuk pengesahan APBD dan APBD-P 2024.

Lantas, jika pemberi dan penerima sama-sama bagian dari satu sistem pemerintahan, benarkah ini murni tindak pidana suap? Atau, jangan-jangan yang disebut “pemberi” justru melakukannya atas tekanan sistemik demi mempertahankan anggaran instansi mereka?

“Apakah para kepala dinas menyuap karena inisiatif pribadi, atau karena ada ‘tarif tak tertulis’ yang harus dibayar demi keberlangsungan birokrasi?” Pertanyaan ini menggantung tajam di tengah pembacaan dakwaan.

Fakta bahwa uang diberikan di lokasi resmi seperti rumah dinas wali kota, kantor dinas, bahkan toko pakaian menguatkan dugaan bahwa praktik ini bukan insidental, tapi terstruktur dan terencana. Pola ini menandai kemungkinan kuat bahwa korupsi bukan hanya dilakukan oleh segelintir pelaku, melainkan dijalankan sebagai budaya instansi.

Dalam logika sederhana, siapa yang menyuap agar APBD cair, tentu berharap ada keuntungan baik secara anggaran, jabatan, maupun proyek. Tapi dalam sidang ini, narasi yang berkembang justru menyudutkan terdakwa sebagai pusat masalah, sementara para “penyumbang uang” dibiarkan sekadar sebagai saksi aktif.

Dihubungi terpisah, Dr. Rinaldi Adnan, pakar hukum pidana dari Universitas Riau, menyatakan bahwa pola-pola seperti ini menunjukkan praktik korupsi yang telah berubah wajah. “Jika praktik setoran dilakukan secara rutin, terencana, dan diketahui oleh banyak pihak dalam struktur pemerintahan, maka kita tak bisa lagi menyebutnya sebagai suap konvensional antara dua pihak saja. Ini sudah masuk pada ranah penyimpangan sistemik yang bisa dikualifikasi sebagai state capture corruption,” jelasnya.

Ia menambahkan, “Jika pemberi justru melakukannya karena ada tekanan atau kewajiban tak tertulis dari atasan, maka aspek voluntariness-nya patut dipertanyakan. Apakah mereka benar-benar pelaku aktif, atau korban dari sistem kekuasaan yang memaksa loyalitas dalam bentuk uang?”

Menurutnya, penyidikan dan penuntutan harus menelusuri secara menyeluruh apakah ada pola kepemimpinan koersif yang menciptakan iklim ketergantungan anggaran melalui mekanisme setoran. “Kalau ini tidak diungkap secara menyeluruh, maka yang dihukum hanya simbolnya, bukan sistemnya,” pungkas Rinaldi.

Kini publik menunggu, apakah persidangan akan membongkar tuntas siapa sebenarnya yang memulai permainan ini. Ataukah lagi-lagi hanya yang menerima yang dipenjara, sementara yang memberi bebas bersandar pada dalih “demi kelancaran program”?

Apakah kita akan terus melihat praktik suap sebagai kejahatan individual, atau sudah saatnya menilai bahwa ini adalah produk dari sistem yang menormalisasi jual-beli kekuasaan anggaran?. (*)

Rilis: Redaksi

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *