Lucunya, sektor kelautan nyumbang 30% PDRB daerah. Tapi anggaran untuk nelayan? Hanya 5% dari total belanja kelautan. Mungkin logika anggarannya pakai rumus rahasia yang cuma bisa dibaca kalau pakai kacamata elite.
UpdateiNews | Maluku Utara, (17/05/25) – Selamat datang di Botang Lomang, sudut kecil Halmahera Selatan yang tak tercantum di brosur pariwisata, tapi penuh drama pembangunan yang layak disinetronkan. Di sini, nelayan bagang bukan sekadar profesi mereka adalah seniman bertahan hidup, bermodal bambu, jaring, dan harapan yang makin tipis tiap tahun.
Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan 2023, 65% warga pesisir bekerja sebagai nelayan tradisional dengan penghasilan bulanan di bawah Rp 1,5 juta. Itu pun kalau ikannya bersedia naik kapal. Bandingkan dengan UMK Halmahera Selatan yang Rp 2,5 juta, selisihnya cukup buat beli pulsa dan sedikit ilusi.
Lucunya, sektor kelautan nyumbang 30% PDRB daerah. Tapi anggaran untuk nelayan? Hanya 5% dari total belanja kelautan. Mungkin logika anggarannya pakai rumus rahasia yang cuma bisa dibaca kalau pakai kacamata elite.
Sementara bagang nelayan makin lapuk, pemerintah daerah sibuk mendandani jalanan dan gedung perkantoran. Mau ke laut? Ya silakan, tapi jangan berharap dermaga layak. Mau minta pelatihan? Tunggu saja… mungkin datang bareng unicorn.
Pada 18 Maret 2025, Pak Bupati dengan semangat menyala dan mungkin ditemani kopi hangat meluncurkan Forum CSR sambil bilang, “Nelayan dan petani harus mandiri.” Masalahnya, nelayan Botang Lomang belum sempat merasakan CSR, apalagi mandiri. Kalau ada CSR masuk, mungkin nyasarnya ke papan nama proyek.
Akibatnya, hasil tangkapan ikan turun 12% sejak 2020. Ekosistem rusak, alat tangkap usang, dan pemuda pesisir kabur ke kota. Yang tersisa? Orang tua yang harus memilih: ke laut atau ke puskesmas dulu.
Pemerintah perlu sadar: pembangunan bukan cuma soal bangun gedung dengan plang besar dan foto seremoni. Sudah waktunya anggaran kelautan dinaikkan, minimal 15%. Itu pun bukan buat studi banding ke luar negeri, tapi buat bagang yang nyaris jadi rumah hantu, pelatihan yang nyata, dan dermaga yang tak bikin perahu nangis.
Kemitraan dengan LSM dan swasta juga harus dibuka selebar-lebarnya, jangan cuma waktu ada konferensi. Nelayan butuh akses modal, pasar, dan teknologibukan sekadar difoto lalu dilupakan.
Botang Lomang bukan titik kecil yang bisa di-zoom out begitu saja. Ia adalah detak jantung pesisir Halmahera Selatan. Kalau nelayan tenggelam, maka yang karam bukan cuma kapal, tapi masa depan.
Sebab pembangunan yang adil bukan yang bikin kota makin terang dan pesisir makin gelap. Tapi yang tahu bahwa keadilan dimulai dari pinggir, dari bagang reyot yang tak pernah masuk headline, tapi jadi nadi kehidupan laut. (*)
Naskah Oleh: Irfandi Kamarullah, Alumni Himpunan Mahasiswa Botang Lomang
Editor: When