UpdateiNews | Pekanbaru,(20/07/25) – Di balik wajah sejuk lembaga keagamaan, tersimpan praktik liar yang bisa mencoreng marwah pelayanan publik. Investigasi terbaru mengungkap fakta bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pekanbaru diduga menyelenggarakan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) ilegal, tanpa kemitraan sah dengan Kementerian Agama. Ironisnya, kegiatan ini difasilitasi dan bahkan direkomendasikan oleh sejumlah Kepala KUA di Kecamatan.
Praktik ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk terang-terangan membajak sistem nasional bimbingan perkawinan yang dirancang Kemenag demi menyiapkan keluarga yang kokoh dan berintegritas.
🧾 Fakta Pelanggaran Terbuka
Berdasarkan Surat Kemenag Kota Pekanbaru Nomor B-6069/Kk.04.5/BA.00/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024, ditegaskan bahwa:
“Pelaksanaan bimbingan perkawinan hanya boleh dilakukan oleh lembaga yang telah bekerjasama resmi dengan Kemenag, yakni BP4, Aisyiyah, Wanita Islam, Muslimat NU, dan LKK NU.”
Nama MUI Kota Pekanbaru tidak tercantum. Namun, bukti di lapangan menunjukkan bahwa lembaga ini tetap menjalankan Bimwin secara aktif mengumpulkan calon pengantin, memberikan materi, bahkan diduga memungut biaya kontribusi tanpa legalitas yang jelas.
🤝 Kepala KUA: Dari Pengayom Jadi Komprador
Lebih mencengangkan lagi, beberapa Kepala KUA di kecamatan di Pekanbaru justru ikut mengarahkan calon pengantin untuk mengikuti Bimwin di MUI. Dalam beberapa kasus, arahan ini bersifat wajib, mengabaikan prosedur yang sah dan sistem SIMBIMWIN (Sistem Informasi Manajemen Bimbingan Perkawinan).
Ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap integritas jabatan. Kepala KUA adalah perpanjangan tangan Kementerian Agama. Ketika mereka justru melanggar aturan pusat, publik patut bertanya:
Apakah ini kelalaian? Atau ada motif ekonomi tersembunyi di balik pengalihan peserta ke lembaga ilegal?
🔥 Kritik Keras untuk MUI Kota Pekanbaru
Sebagai lembaga keagamaan yang selama ini dikenal sebagai penegak moral, MUI seharusnya menjadi garda etika, bukan pelanggar regulasi.
Namun kenyataannya, MUI Kota Pekanbaru justru menyusup ke celah program pemerintah demi menyelenggarakan pelatihan yang tak memiliki dasar hukum, tak punya standar nasional, dan tak berada dalam sistem pengawasan resmi.
Lebih memprihatinkan, MUI tak hanya berjalan sendiri, tapi juga memanfaatkan kekuasaan para Kepala KUA untuk mengalirkan peserta praktik yang patut dicurigai sebagai bentuk kolusi.
📜 Regulasi yang Dilanggar
Berdasarkan Surat Edaran Kanwil Kemenag Provinsi Riau Nomor B-253/KW.04.5/3.kp.02.3./12/2024 tanggal 10 Desember 2024, ditegaskan bahwa:
“Pelaksanaan Bimbingan Perkawinan hanya boleh dilakukan oleh lembaga yang telah bekerja sama secara resmi dengan Kementerian Agama.”
Kepdirjen Bimas Islam No. 172 Tahun 2022 juga menegaskan bahwa narasumber Bimwin harus merupakan tenaga profesional yang sudah mendapatkan Bimtek dan memenuhi standar kompetensi nasional. Namun, kegiatan Bimwin yang digelar MUI Pekanbaru tidak pernah terdaftar dalam sistem resmi SIMBIMWIN, serta belum diketahui siapa narasumbernya dan apakah mereka sudah tersertifikasi.
⚖️ Pelanggaran dan Potensi Sanksi
Menurut PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, Kepala KUA yang mengarahkan peserta ke lembaga ilegal dapat dikenai sanksi:
- Teguran tertulis
- Penundaan kenaikan pangkat
- Pembebasan dari jabatan
- Bahkan pemberhentian tidak hormat, jika terbukti terdapat unsur kolusi atau pungutan liar.
Sedangkan MUI sebagai lembaga nonstruktural bisa dikenai tindakan hukum berdasarkan pelanggaran administrasi publik, maladministrasi, bahkan pemanfaatan lembaga keagamaan untuk kepentingan non-transparan.
🧭 Mendesak Penertiban dan Evaluasi Total
Kami mendorong:
- Itjen Kemenag dan Kanwil Riau segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh KUA di Pekanbaru.
- MUI Kota Pekanbaru wajib diberi teguran keras dan dilarang menyelenggarakan Bimwin tanpa MoU resmi.
- Calon pengantin yang dirugikan harus diberikan haknya untuk mendapatkan Bimwin ulang secara sah dan gratis.
Di negeri ini, pernikahan dianggap sakral. Tapi ketika sakralitas dijadikan ladang “pelatihan gelap”, maka yang rusak bukan cuma administrasi tapi marwah agama dan kepercayaan publik.
Kemenag jangan diam. Ini bukan soal teknis pelatihan, ini soal penyalahgunaan struktur dan pengkhianatan terhadap sistem.(*)
Rilis: Redaksi
Editor: Wheny