[BEDAH USAHA ILEGAL #1] Skandal Arang Bakau Meranti: Ketika Hutan Dijadikan Dapur Mafia

Perbarui Berita | Meranti, (16/07/25) – Di balik aroma arang yang menyengat di tepian Pulau Merbau, tersimpan jejak kejahatan lingkungan yang sistematis. Investigasi mendalam mengungkap bahwa bisnis arang bakau ilegal yang dilakukan oleh jaringan dugaan HS alias H. Regar dan istrinya, LM (anggota DPRD Meranti dari Fraksi NasDem), bukan sekadar usaha rakyat biasa. Ia adalah industri hitam yang berjalan di atas melestarikan hutan dan hukum yang dibiarkan lemah.

Jejak Dapur Hitam: Di Mana Produksinya?

Salah satu dapur arang bakau terbesar di Kabupaten Meranti terletak di Pulau Merbau. Dari luar, tampak seperti fasilitas pengolahan rakyat biasa. Namun di balik pagar seng dan tumpukan kayu, terdapat aktivitas produksi yang tidak lagi mengantongi izin resmi sejak 10 Mei 2023, sesuai Surat Edaran Dirjen KLHK tentang penutupan sementara izin pengolahan bakau akibat deforestasi ekstrem.

Namun, operasional dapur tetap jalan.

“Yang menguasai itu Regar. Dia mengatur transportasi dari hutan, pekerja lokal dikasih uang harian, lalu ekspor pakai koperasi milik jaringan mereka,” ujar seorang warga yang pernah bekerja di lokasi (identitas kami rahasiakan demi keamanan).

Modus Operasi: Dari Hutan ke Malaysia Melalui Koperasi Siluman

Distribusi arang bakau ilegal ini tidak dilakukan sembunyi-sembunyi. Justru difasilitasi oleh koperasi bernama Koperasi Silva , yang beralamat di lantai 2 Hotel Grand Indobaru, Meranti. Meski koperasi ini masih tercatat aktif, tidak ada izin sah yang mengizinkan ekspor arang bakau pasca penutupan nasional.

“Modusnya klasik: koperasi sebagai tameng legalitas. Arangnya ilegal, tapi dikirim pakai kontainer legal atas nama koperasi. Ini pembiaran yang disengaja,” kata Dr Amanda Nurhaliza, pakar kehutanan IPB.

Keterlibatan LM : Perempuan Parlemen di Tengah Ladang Arang

Nama LM, istri Regar, kerap disebut dalam aktivitas pengelolaan dan pengiriman arang. Beberapa dokumen manifes pelayaran dari Meranti ke Batam dan Malaysia memuat kapal nama dan awak yang berhubungan dengan milik pribadi L.

Meski berstatus sebagai anggota DPRD yang seharusnya memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup daerah, L justru diduga menjadi bagian dari jaringan perusak ekosistem Meranti.

“Kalau kapal atas nama dia, dan suami yang urus memasok kayu, maka keduanya harus diperiksa dalam skema kolusi rumah tangga,” tegas Dr. Budi Herlambang, ahli hukum lingkungan dan tata negara.

181 Dapur Arang (2015) dan Bertambah Tanpa Kontrol

Hingga kini, tidak ada data pasti jumlah terkini dapur arang aktif di Meranti. Namun sumber internal Dinas Lingkungan Hidup menyebut, jumlahnya diperkirakan lebih dari 100 titik, tersebar di seluruh pulau-pulau kecil, termasuk Pulau Merbau, Rangsang, dan Tebingtinggi.

“Data 2015 mencatat ada 181 dapur arang. Aktivitas ini sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan makin menggila sejak 2020. Tapi tak satupun terintegrasi dalam sistem pengawasan berbasis izin dari pusat,” ungkap seorang pejabat lingkungan yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Modus Ilegal: Izin Mati, Tapi Produksi Jalan

Pasca terbitnya Surat Edaran Dirjen KLHK pada 10 Mei 2023 yang memerintahkan penghentian sementara aktivitas pengolahan arang bakau di seluruh Indonesia, seharusnya seluruh dapur di Meranti juga berhenti beroperasi.

Namun, fakta di lapangan berkata lain.

Dapur tetap menyala, kayu bakau terus ditebang dari hutan mangrove pesisir.

Jalur distribusi diduga dikendalikan Regar, dengan pengangkutan menggunakan kapal yang terdaftar atas nama istrinya, L M.

Proses legalisasi ekspor dilakukan lewat Koperasi Silva, beralamat di Hotel Grand Indobaru lantai 2 yang dalam praktiknya hanya menjadi ‘koperasi siluman’.

“Ini bukan kelalaian administratif, tapi sudah masuk kategori persekongkolan jahat antar keluarga elit dan aparat. Istrinya duduk di legislatif, suaminya di kepolisian. Lengkap sudah,” ujar Dr. Budi Herlambang, pakar hukum lingkungan dari Universitas Airlangga.

Dampak Ekologis: Meranti Terancam Jadi Pulau Mati

Pembakaran bakau secara masif berdampak langsung pada:

  • Kerusakan hutan pesisir
  • Abrasi pantai dan hilangnya daerah resapan
  • Hancurnya habitat satwa rawa dan pesisir
  • Penurunan kualitas udara dan pencemaran residu kimia
  • KLHK dalam laporan tahunannya menyebut Meranti sebagai salah satu wilayah rawan kerusakan hutan mangrove tertinggi di Sumatra.

Tuntutan Rakyat: Tutup Koperasi, Tangkap Aktornya

Masyarakat dan aktivis kini menuntut:

1. Penutupan dan audit total terhadap Koperasi Silva

2. Pemeriksaan aset pribadi dan politik milik L M.

3. Penindakan tegas terhadap Bripka H S yang mengatur jalur distribusi

4. Penetapan kawasan Pulau Merbau sebagai zona rawan konservasi dengan pengawasan KPK dan KLHK

Arang Mereka, Abu untuk Kita

Di Meranti, arang bukan sekadar bahan bakar. Ia adalah simbol dari politik busuk, hukum yang bisa dibeli, dan sumber daya yang dijarah oleh pasangan penguasa lokal yang berdagang atas nama rakyat.

Sementara aparat bangga menyita satu truk kayu, dapur pembakaran milik keluarga pejabat tetap mengepul menebar asap keadilan yang memedihkan bagi warga Meranti.(*)

BERSAMBUNG – Serial berikutnya akan mengupas: “Proyek Ilegal dan Permainan Tender: Saat Istri Dewan Jadi Penentu Pemenang”.

Rilis: Redaksi

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *