Awan Kelabu di Langit Kretek: Nasib Gudang Garam Jadi Alarm Bagi Industri Rokok Nasional

UpdateiNews| Pekanbaru, (07/06/25) — Laba bersih PT Gudang Garam Tbk (GGRM) anjlok hingga ke titik nadir. Dari puncak kejayaan tahun 2019 yang menorehkan laba Rp10,8 triliun, kini perusahaan rokok legendaris asal Kediri itu hanya mampu mencatatkan laba bersih Rp981 miliar pada tahun buku 2024. Penurunan lebih dari 91% ini bukan hanya mengguncang bilangan dalam neraca keuangan, tetapi juga mengancam fondasi bisnis yang dibangun puluhan tahun lalu oleh keluarga Wonowidjojo.

Susilo Wonowidjojo, Presiden Direktur Gudang Garam, yang pernah tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, kini menyaksikan kekayaannya menyusut drastis. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari Rp105 triliun menguap dari nilai total asetnya. Situasi ini mencerminkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar krisis korporasi.

“Yang dialami Gudang Garam bukan kasus tersendiri, tapi gejala sistemik. Ini refleksi tekanan besar yang dialami oleh seluruh ekosistem industri rokok nasional,” ujar Dr. Hendra Malik, ekonom industri dari Universitas Indonesia.

Dibalik Angka: Struktur Beban yang Menyesakkan

Para pelaku usaha dan analis sepakat, tekanan utama datang dari kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) yang sangat agresif dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2021, tarif cukai naik setiap tahun dengan rerata di atas 10%. Pada saat yang sama, daya beli masyarakat justru menurun, terutama di segmen konsumen kelas bawah yang selama ini menjadi tulang punggung penjualan.

“Kebijakan fiskal seperti ini memang bertujuan menurunkan konsumsi rokok, tapi tanpa pengawasan dan pengendalian distribusi ilegal, hasilnya justru paradoks: rokok ilegal tumbuh, rokok legal sekarat,” tambah Irsan Prabowo, analis kebijakan publik dari CIPS.

Dari data Kementerian Keuangan, peredaran rokok ilegal sempat menyentuh angka 7% dari total konsumsi nasional pada 2023. Namun di lapangan, berbagai pengamat menduga angka riilnya bisa mencapai dua kali lipat.

Efek Domino: Dari Pabrik ke Petani

Di sisi hulu, petani tembakau mengalami krisis diam-diam. Permintaan turun, harga anjlok, dan kontrak pembelian dari pabrik besar makin selektif.

“Sekarang nggak bisa ngandelin tembakau doang. Banyak petani mulai tanam jagung, tapi nggak semua berhasil adaptasi,” ujar Sugiyanto, ketua koperasi petani di Temanggung.

Sementara itu, sektor hilir juga terdampak. Industri Sigaret Kretek Tangan (SKT), yang padat karya dan menyerap tenaga kerja perempuan dalam jumlah besar, mengalami perlambatan. PHK mulai terjadi secara bertahap, meski tak selalu tercatat resmi.

Pelajaran dari Krisis Gudang Garam: Perlu Jalan Tengah

Apa yang terjadi pada Gudang Garam bisa menjadi studi kasus penting untuk menyusun kembali peta jalan industri hasil tembakau nasional. Berikut adalah rangkuman pelajaran penting yang bisa diambil:

1. Kenaikan Cukai Perlu Logika Bertahap

Kebijakan fiskal tak boleh membunuh industri legal. Idealnya:

  • Peningkatan cukai disesuaikan dengan kapasitas pasar.
  • Diterapkan sistem multi-layer yang lebih adil antara SKT (padat karya) dan SKM (berbasis mesin).

2. Rokok Ilegal Harus Ditekan Secara Teknologi dan Hukum

  • Perlu sistem pelacakan digital seperti tracking QR/barcode di setiap bungkus.
  • Penegakan hukum perlu ditingkatkan dengan pendekatan multidinas: Bea Cukai, Polri, Satpol PP.

3. Industri Harus Lakukan Diversifikasi Bisnis

Perusahaan besar seperti GGRM, HM Sampoerna, hingga Djarum harus mulai membuka horizon:

  • Produk alternatif nikotin legal seperti vape atau heated tobacco.
  • Ekspansi ekspor ke negara-negara berkembang dengan regulasi lebih longgar.

4. Transformasi Sosial Bagi Petani & Buruh

Jika arah kebijakan ingin mengurangi konsumsi tembakau, harus ada:

  • Pelatihan ulang buruh rokok
  • Subsidi tanam komoditas alternatif bagi petani
  • Model koperasi baru untuk produksi dan distribusi pangan lokal

Kita Sedang Menulis Babak Akhir Industri Kretek?

Industri rokok bukan hanya soal ekonomi; ia adalah bagian dari sejarah, budaya, dan narasi bangsa. Tapi jika negara terus mendorong perubahan tanpa arah yang jelas, maka bisa saja kita menyaksikan akhir era kretek legendaris Indonesia tanpa warisan yang berarti.

“Kalau tak ada koreksi kebijakan, lima tahun dari sekarang kita mungkin tak lagi bicara industri rokok nasional, tapi sejarah tentang apa yang pernah ada,” tutup Dr. Hendra Malik.

Redaksi akan terus menelusuri dampak krisis industri ini ke daerah-daerah penghasil tembakau dan pabrik-pabrik lokal. Nantikan seri liputan mendalam kami: “Masa Depan Kretek Indonesia.(*)

Rilis: Pimred Redaksi

Editor: Wheny 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *