Categories: Infotorial

ASN Dinkes Berau Divonis Ringan: Benarkah Keadilan Hanya Soal Uang Kembali?

Manipulasi Data TPP yang Menggerogoti Birokrasi

UPDATEINEWS|BERAU, (17/08/25) – Kasus korupsi yang menyeret seorang ASN Dinas Kesehatan Kabupaten Berau berinisial SN menjadi bukti betapa rapuhnya sistem keuangan daerah. SN terbukti melakukan manipulasi data penerima Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) sejak tahun 2017. Nama pegawai yang tidak berhak diubah, lalu diganti dengan nomor rekening pribadinya. Cara culas ini berjalan bertahun-tahun, tanpa terendus, hingga akhirnya menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp1 miliar.

Kejanggalan utama dalam kasus ini adalah lamanya praktik tersebut berlangsung. Delapan tahun bukan waktu singkat, dan sulit dipercaya seorang staf bendahara bisa sendirian memainkan data tanpa ada celah pengawasan. Publik pun bertanya-tanya: di mana peran atasan, inspektorat, maupun sistem kontrol keuangan daerah? Jika sistem pengawasan benar-benar bekerja, kasus ini seharusnya tidak sampai merugikan negara hingga miliaran rupiah.

Kejaksaan sendiri dalam proses penyidikan mengakui telah memanggil puluhan saksi, termasuk pejabat Dinkes Berau. Bahkan muncul kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain yang memilih menutup mata. Namun, hingga vonis dijatuhkan, nama-nama itu belum terlihat terseret. Apakah kasus ini memang hanya “dikorbankan” kepada seorang ASN, sementara yang lain aman? Pertanyaan itu terus menggantung di ruang publik.

Vonis Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa

Pengadilan Tipikor Samarinda akhirnya menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan denda Rp50 juta kepada SN. Padahal jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut hukuman 1,5 tahun penjara. Pertimbangan hakim cukup sederhana: terdakwa sudah mengembalikan sebagian besar kerugian negara, bahkan menyerahkan aset berupa mobil Avanza dan tanah seluas satu hektar.

Namun, keputusan ini justru memicu gelombang kritik. Publik menilai hukuman ringan semacam itu hanya memperlihatkan bahwa korupsi bisa ditebus dengan uang. Padahal, esensi dari kejahatan korupsi bukan sekadar kehilangan uang negara, melainkan juga penghianatan terhadap kepercayaan publik. Kalau setiap koruptor hanya dihukum ringan asalkan uangnya kembali, maka pesan yang ditangkap masyarakat jelas: korupsi itu risiko bisnis, bukan kejahatan serius.

Fenomena ini semakin memperkuat citra bahwa penegakan hukum di Indonesia masih lemah dalam menghadapi kasus-kasus korupsi, terutama di level daerah. Koruptor kelas kakap dengan kerugian besar bisa mendapat hukuman ringan, sementara pelanggaran kecil oleh rakyat biasa kerap dihukum berat tanpa kompromi. Di sinilah paradoks hukum kita: tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Pertanyaan yang Menggantung di Atas Nama Keadilan

Kasus SN membuka kembali perdebatan klasik: apakah keadilan di negeri ini hanya soal formalitas hukum, atau benar-benar menghadirkan efek jera? Banyak kalangan berpendapat, hukuman 1 tahun penjara jelas tidak sebanding dengan dampak sosial dan moral dari tindakan korupsi. Apalagi, manipulasi data TPP ini terjadi di sektor kesehatan sebuah sektor vital yang mestinya steril dari praktik busuk.

Lebih jauh, vonis ringan ini juga menimbulkan kekhawatiran bahwa kasus serupa bisa berulang di daerah lain. Jika setiap pelaku korupsi hanya dihukum ringan dan bisa “berdamai” dengan negara lewat pengembalian uang, maka tidak ada alasan bagi para ASN untuk takut mencoba peruntungan serupa. Sistem birokrasi akan terus digerogoti, sementara rakyat hanya bisa menjadi penonton setia drama korupsi yang tak pernah usai.

Pada akhirnya, publik berhak menuntut jawaban lebih. Benarkah SN hanyalah pelaku tunggal, atau ada “bayangan” lain di balik meja birokrasi yang terlindungi oleh sistem? Benarkah keadilan cukup ditegakkan dengan mengembalikan uang, sementara rasa percaya yang rusak dibiarkan tanpa pemulihan? Jika pertanyaan-pertanyaan ini tak pernah dijawab, maka jangan salahkan rakyat bila semakin apatis terhadap hukum dan pemerintahan yang seharusnya bekerja untuk mereka. (*)

Rilis: Redaksi

Editor: Wheny 

Bobby Setiawan

Recent Posts

Khoirul basar S.H: Menanggapi Isu Kenaikan PBB 300 Persen di Pekanbaru

UPDATEINEWS|PEKANBARU,(17/08/25) - Baru baru ini masyarakat di hebohkan dengan isu kenaikan pajak PBB di kota…

28 minutes ago

“Isu Riau Merdeka Cuma Komoditas Politik: Yang Jadi Korban Tetap Rakyat Kecil”

“NKRI Untung Besar dari Riau, Tapi Rakyat Riau Selalu Jadi Korban” UPDATEINEWS | PEKANBARU,(17/08/25) -…

2 hours ago

KLHK Segel Konsesi, Tutup Pabrik Sawit: 5 Perusahaan Riau Kembali Terseret Skandal Karhutla

UPDATEINEWS | PEKANBARU, (17/08/25) - Asap kembali menebal, dan jari telunjuk publik lagi-lagi mengarah ke…

5 hours ago

UU PDP Jadi Tameng Pejabat Korup? Publik Bertanya: Di Mana Letak Kemerdekaan Itu?

UPDATEINEWS| JAKARTA, (17/08/25) - Polemik pasal karet dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) kian…

5 hours ago

PN Siak Menyalakan Obor Perlawanan Narkoba: Vonis Mati Empat Pengedar

Empat Pengedar 73 Kg Narkoba Divonis Mati di PN Siak: Alarm Bahaya Peredaran Gelap di…

12 hours ago

Komisi I DPRD Pekanbaru Ultimatum Provider Internet: Urus Izin atau Tiang Dipotong. “Mayoritas Provider Tanpa Izin”

UPDATEINEWS | PEKANBARU,(16/08/25),-Komisi I DPRD Pekanbaru kembali menyoroti keberadaan tiang-tiang provider internet yang menjamur di…

23 hours ago

This website uses cookies.