UPDATEINEWS|PEKANBARU,(19/09/25) – Putusan praperadilan yang memenangkan Muflihun alias Uun atas dua aset pribadinya hanya menyentuh permukaan. Di luar itu, masih ada deretan aset yang disita Polda Riau—bukan atas nama Uun, melainkan milik sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Sekretariat DPRD Riau sejak jauh sebelum Uun menjabat.
🏠 Deretan Aset yang Tersandera
Polda Riau menyita beberapa rumah, kendaraan, dan properti lain atas nama ASN di lingkungan Sekwan DPRD Riau. Mereka bukan pejabat tinggi, sebagian hanya staf biasa, tapi tiba-tiba memiliki aset bernilai besar.
Penyidik menduga aset itu “parkiran harta” hasil SPPD fiktif. Modus klasik: uang mengalir, tapi untuk menghindari sorotan, dibelikan aset atas nama pihak ketiga.
🧩 Jejak Lama, Bukan Hanya Era Uun
Yang bikin rumit, sebagian ASN yang asetnya disita sudah bekerja di Sekretariat DPRD sejak era sebelum Uun menjabat Sekwan. Artinya:
1. Praktik SPPD fiktif bukan barang baru. Ia sudah jadi tradisi busuk yang diwariskan dari periode ke periode.
2. Uun bukan pemain tunggal. Ia mungkin bagian dari mata rantai, tapi bukan pencipta sistem.
Hal ini membuka tafsir: apakah penyitaan aset ASN itu bukti bahwa penyakitnya sudah kronis, bahkan lintas periode Sekwan?.
⚖️ Posisi Hukum yang Rawan
Berbeda dengan aset atas nama Uun yang bisa dibela langsung di praperadilan, aset ASN lain tidak punya “pembelaan keras” di meja hakim. Mereka rata-rata diam, pasrah, atau belum melawan. Ini memberi ruang bagi Polda untuk tetap menahan aset sebagai bukti cadangan.
Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan kritis:
– Apakah benar semua aset ASN itu hasil aliran SPPD fiktif?
– Atau ada yang sebenarnya murni hasil jerih payah pribadi, tapi ikut terbawa arus karena bekerja di Sekwan?
Bayangan Panjang Bagi Publik
Bagi publik, penyitaan aset ASN di luar nama Uun memberi sinyal bahwa kasus ini bukan sekadar kesalahan individu, tapi masalah sistemik. DPRD Riau terancam kehilangan kepercayaan publik bila pola ini terbukti sudah berlangsung sejak lama, menjerat pejabat lama hingga staf rendahan.
“Kalau aset ASN yang cuma staf bisa ikut-ikutan kena sita, berarti ada pola. Sistem SPPD fiktif ini hidup dari atas sampai ke bawah,” kata seorang pengamat hukum di Pekanbaru.
Hukum: sah-sah saja Polda menyita jika ada dugaan keterkaitan dengan tindak pidana.
Moral: menyita aset ASN tanpa bukti kuat bisa dianggap tebang pilih dan menimbulkan kesan kriminalisasi.
Politik: makin lama kasus ini digoreng, makin jelas DPRD Riau terlihat punya borok lama yang diwariskan lintas generasi pejabat.
Jadi, putusan hakim yang mengembalikan dua aset Uun hanyalah “kemenangan kecil”. Sementara itu, bayangan besar kasus SPPD fiktif masih menggantung lewat penyitaan aset-aset ASN lain.(*)