Nyawa Pekerja Melayang di Neon Box: Tragedi atau Kejahatan Korporasi?

UPDATEINEWS|PEKANBARU,(17/09/25) – Bukan hujan deras, bukan arus listrik yang paling mematikan malam itu. Yang lebih berbahaya adalah abainya prosedur keselamatan. Andi Harianto (45), pekerja reklame asal Tarai Bangun, meregang nyawa di dalam neon box iklan Jalan Soekarno Hatta, Minggu (14/9/2025). Ia ditemukan tergantung, telungkup, setelah tersengat listrik ketika memperbaiki lampu reklame.

Evakuasi jasad berlangsung dramatis. Tim SAR Basarnas Pekanbaru, Reskrim Polda Riau, Dishub Pekanbaru, PT Benggala Surya, hingga warga setempat, bahu-membahu menurunkan tubuh korban. Tapi di balik duka ini, publik menuntut lebih dari sekadar belasungkawa: siapa yang harus bertanggung jawab?

K3 di Atas Kertas, Nyawa di Bawah Tanah

Dari keterangan awal, Andi tetap diperintahkan bekerja malam itu, meski hujan deras. Tak ada kepastian pemutusan arus, tak terlihat penggunaan alat pelindung diri (APD), dan tak ada supervisi teknis di lokasi.

Padahal, regulasi jelas:

  • UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja,
  • PP No. 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen K3,
  • UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 86),
  • hingga Permenakertrans No. PER.08/MEN/VII/2010 tentang APD.

Semuanya mengamanatkan pekerja berhak atas perlindungan keselamatan kerja, termasuk hak menolak kerja berisiko tinggi tanpa prosedur pengamanan.

Nyatanya, pekerja reklame di Pekanbaru justru dipaksa masuk ke “ruang maut” hanya demi lampu iklan kembali menyala.

Potensi Pidana: Bukan Sekadar Musibah

Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru, Kompol Berry Juana, menyebut pihaknya tengah memeriksa saksi. Namun, publik menagih langkah lebih tegas. Jika terbukti lalai, perusahaan bisa dijerat:

Pasal 359 KUHP: Kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia, ancaman penjara 5 tahun.

– Pasal 360 KUHP: Kelalaian yang menyebabkan luka berat, ancaman 5 tahun.

– Pasal 190 UU No. 13/2003: Pengusaha yang melanggar kewajiban K3 dapat dipidana penjara 1 tahun atau denda Rp100 juta.

Artinya, kematian Andi tak bisa sekadar disebut kecelakaan kerja. Ada potensi kejahatan korporasi bila terbukti perusahaan mengabaikan standar keselamatan.

Diamnya Perusahaan = Menguatkan Dugaan

Hingga berita ini diturunkan, pihak perusahaan reklame bungkam. Tak ada konferensi pers, permintaan maaf, atau komitmen perbaikan sistem. Padahal, dalam praktik bisnis modern, transparansi dan akuntabilitas adalah standar etik minimal.

Sikap diam justru mempertebal persepsi publik: bahwa keselamatan hanyalah formalitas, sementara profit lebih utama dari nyawa pekerja.

Ujian Moral Aparat Penegak Hukum

Kematian Andi adalah cermin buram dunia kerja di kota ini. Di balik neon box yang menyala terang, ada keringat, ada risiko, dan kini ada nyawa yang terenggut.

Jika aparat hanya berhenti pada pencatatan korban, publik berhak curiga: apakah ada “main mata” antara korporasi dan aparat?

Kasus ini adalah ujian moral. Bila hukum gagal menegakkan keadilan, maka publik akan menilai: yang mati bukan hanya Andi, tapi juga martabat hukum itu sendiri.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *