UPDATEINEWS|PEKANBARU,(15/09/25) – Sebuah pemandangan janggal muncul di lingkungan DPRD Kota Pekanbaru. Salah seorang anggota dewan dengan jabatan ketua komisi dari Partai Gerindra 3 Priode kedapatan menggunakan personel Satpol PP bukan untuk menertibkan pedagang kaki lima atau mengamankan jalannya penegakan Perda, melainkan… menjadi supir pribadi.
Pertanyaannya sederhana tapi menohok: sejak kapan tugas mulia Satpol PP yang diatur undang-undang menegakkan peraturan daerah, menjaga ketertiban umum, hingga melindungi masyarakat diturunkan derajatnya hanya untuk sekadar “mengemudikan setir” bagi pejabat legislatif?
Saat di konfirmasi ke Anggota Dewan yang bersangkutan melalui WA beliau hanya menjawab “Ada yg di urus nya” dan melalui telfon beliau juga menjelaskan bahwa di DPRD kota Pekanbaru ada di perbantukan 4 orang Satpol PP, namun untuk keterangan lanjutan masih dalam penelusuran tim Jurnalis.
Rekan jurnalis sementara ini sudah mencoba untuk bertanya kepada Kasatpol PP kota Pekanbaru Yuliarso namun belum ada tanggapan terkait kebenaran adanya 4 orang Satpol PP yang diperbantukan di DPRD kota Pekanbaru.
Fenomena ini seolah menampar wajah transparansi dan akuntabilitas. Bukankah DPRD seharusnya lembaga pengawas, bukan penikmat fasilitas semaunya? Apalagi, keberadaan supir dari Satpol PP jelas bukan fasilitas resmi yang tercatat dalam tata tertib dewan maupun aturan pemerintah daerah.
Publik pun bertanya-tanya, apakah ini bentuk penyalahgunaan kewenangan, atau sekadar “gaya hidup” pejabat yang merasa serba berhak? Jika memang butuh supir, bukankah lebih pantas menggunakan tenaga sopir yang digaji khusus untuk itu, bukan “mencomot” aparat penegak Perda?
Lebih ironis lagi, di tengah banyaknya keluhan warga soal ketertiban kota, keberadaan Satpol PP justru “diparkir” di kursi sopir mobil dewan. Mungkin inilah wajah birokrasi kita: rakyat butuh ditertibkan, dewan butuh dilayani.
Satu hal yang jelas: Satpol PP bukan jasa rental kendaraan, apalagi jasa supir pribadi pejabat. Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, jangan salahkan publik bila menilai ada yang keliru dalam urat nadi tata kelola pemerintahan kota.(*)