“Direktur RSJ Tampan Harus Bertanggung Jawab: Kematian Nurhadi Adalah Buah dari Kelalaian Struktural”

UpdateiNews | Pekanbaru, (25/06/25) Kematian tragis Ahmad Nurhadi di Rumah Sakit Jiwa Tampan Riau bukan sekadar insiden medis, melainkan potret nyata dari kelalaian sistemik yang berakar dari puncak kepemimpinan rumah sakit. Di balik nama besar RSJ Tampan, tersembunyi pertanyaan serius: di mana tanggung jawab direktur sebagai pimpinan tertinggi?

Ahmad Nurhadi, pasien yang baru dirawat empat hari, ditemukan meninggal dunia dengan dugaan gantung diri. Anehnya, kondisi Nurhadi justru sempat dikabarkan membaik dan bahkan sempat melakukan video call bersama keluarganya hanya beberapa jam sebelumnya. Pihak keluarga tidak diberi akses saat hendak menjenguk, dan beberapa jam setelah itu, jenazah dinyatakan sudah terbujur kaku dengan kain menutupi tubuhnya.

DHL: “Jangan hanya salahkan bawahan. Ini tanggung jawab pimpinan!”

Praktisi hukum muda Riau, Dedi Harianto Lubis, menyampaikan kritik tajam. Menurutnya, kejadian ini tidak bisa dilepaskan dari lemahnya manajemen dan pengawasan yang menjadi tanggung jawab penuh direktur rumah sakit.

“Direktur RSJ itu bukan hanya duduk di belakang meja. Dia pemegang tanggung jawab tertinggi atas keselamatan pasien. Kalau sampai ada pasien yang meninggal dalam kondisi mencurigakan, dan itu terjadi dalam ruang yang seharusnya diawasi 24 jam maka jelas, ini kelalaian struktural, bukan personal,” ujar DHL dengan nada tegas.

DHL juga menyoroti bahwa sistem pengawasan di RSJ seharusnya dilengkapi dengan teknologi CCTV dan patroli rutin. Namun semua itu tak berarti apa-apa jika manajemennya lemah dan tidak ada akuntabilitas dari pucuk pimpinan.

Gubernur dan DPRD Riau Didukung untuk Bertindak Tegas

Dalam pandangannya, DHL mendesak Gubernur Riau tidak menutup mata. Ini bukan sekadar keluhan publik biasa—ini persoalan nyawa. Persoalan kepercayaan terhadap lembaga kesehatan pemerintah.

“Kami minta Gubernur Riau segera mengevaluasi total jajaran pimpinan RSJ. Bila perlu, Direktur RSJ harus dicopot. DPRD juga harus memanggil Direktur dan Kepala Dinas Kesehatan dalam rapat terbuka. Jangan diam saat rakyat kehilangan kepercayaan,” tambah DHL.

CCTV Ada, Tapi Kebenaran Diabaikan?

Berdasarkan informasi keluarga, kamar tempat Nurhadi dirawat dipantau kamera CCTV aktif 24 jam, dan hanya berjarak 8 meter dari pos petugas. Tapi hingga kini, tidak ada kejelasan apakah rekaman CCTV telah diperiksa atau diserahkan ke publik.

Keluarga bahkan mempertanyakan pakaian lengan panjang yang digunakan korban pakaian yang tidak dibawa dari rumah. Ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada skenario yang belum diungkap sepenuhnya.

Pertanyaan untuk Direksi RSJ:

1. Di mana pengawasan saat korban melakukan aksi tersebut?

2. Mengapa keluarga tidak mendapat akses menjenguk menjelang kejadian?

3. Mengapa CCTV tidak langsung dijadikan alat bukti dan diumumkan ke publik?

4. Apa SOP RSJ dalam menangani pasien yang sudah menunjukkan progres pemulihan?

Saatnya Gubernur dan DPRD Riau Membuktikan Keberpihakan

Kasus ini membuka tabir gelap lemahnya sistem perlindungan terhadap pasien di RS milik negara. Bila pejabat tinggi daerah tak bertindak tegas, maka publik patut curiga: apakah keselamatan rakyat bukan lagi prioritas?

Gubernur dan DPRD Riau harus segera menyikapi ini sebagai alarm merah. Pecat direktur, audit total sistem, dan buka semua fakta secara terang-benderang.

“Jangan tunggu korban berikutnya. Negara tidak boleh absen dalam membela yang lemah,” tutup DHL penuh amarah.(*)

Catatan: Berita ini merupakan investigasi tim fan komentar pakar hukum agar kasus ini bisa secepatnya terungkap oleh pihak-pihak yang bertanggung. 

Rilis: Redaksi

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *