“Darah Siri’ di Rumah Kayu Tua”

‎Opini Investigasi Sosial atas Tragedi di Bantaeng

UpdateiNews | ‎Bantaeng, Sulawesi Selatan, (01/06/25) – Di rumah kayu tua yang berdiri rapuh di bawah langit mendung, terdengar seorang ibu yang menyelam dalam kesunyian. “Inda‘! Ampuniko nakku… ampuniko!” Tangis itu tak berhenti, menggema hingga tetangga menoleh. Mereka tahu. Jerit itu bukan sekedar duka itu jerit dari seorang ibu yang kehilangan anak kandungnya, dibunuh oleh anak-anaknya sendiri.

‎Indah, 16 tahun, ditemukan tak bernyawa di ruang tengah rumahnya. Di tangannya masih tergenggam pita merah muda, hadiah kecil dari sepupunya yang juga kekasihnya.

‎💔 Kronologi yang Membekas Luka

‎Kami sore itu, Indah kembali ke rumah setelah bertemu dengan sang kekasih—sepupunya sendiri. Hubungan itu, bagi sebagian orang, adalah hal yang biasa. Namun bagi kakak-kakaknya, itu adalah noda pada kehormatan keluarga.

‎Tanpa ampun, kedua kakaknya yang sudah lama menyimpan bara di dada menyeretnya masuk. Ibu dan adik-adiknya ditahan, disandera. Ibarat waktu berhenti, dan semua kasih yang seharusnya melindungi berubah menjadi kebencian yang paling mematikan.

‎“Dia membawa malu ke keluarga,” ucap sang kakak, dalam video pengakuan yang disampaikan.

‎🔍 Investigasi Sosial: Ketika Norma Menjadi Senjata

‎Kami mencoba memahami: Bagaimana mungkin seorang kakak tega membunuh adiknya sendiri hanya karena persoalan asmara?

‎Dalam tradisi Bugis-Makassar, dikenal istilah siri’ na pacce. Siri’ berarti harga diri; pelindung martabat keluarga yang lebih dianggap berharga dari apapun bahkan nyawa.

‎Tapi siri’ bukan lisensi untuk membunuh.

‎”Ini bukan lagi soal budaya, ini tentang bagaimana budaya disalahpahami dan dijadikan tameng kekerasan,” ujar seorang sosiolog dari Universitas Hasanuddin.

‎🧠 Analisa Psikologis: Rumah Tanpa Ruang Aman

‎Indah hidup dalam rumah tanpa ruang aman. Tidak ada tempat bercerita, tidak ada ruang untuk berdialog. Semua keterikatan dalam sistem patriarki dan ketakutan kolektif. Saat nilai budaya dikonversi secara sempit, bahkan cinta bisa menjadi kutukan.

‎Para pelaku, berdasarkan hasil observasi awal, menunjukkan kecenderungan gangguan kontrol impuls dan kecemasan kolektif. Tindakan mereka tidak semata-mata mata emosional, tapi terstruktur sebuah “eksekusi kehormatan”.

‎📜 Budaya atau Kekeliruan?

‎Sebagian masyarakat membela pelaku. Mereka bilang Indah “kurang terbuka”. Tapi, sejak kapan cinta menjadi alasan untuk mengakhiri hidup seseorang?

“Kami hanya ingin menjaga nama baik keluarga,” kata pelaku.

‎Tapi kini nama baik itu tenggelam dalam darah adik kandungnya sendiri.

‎✊ Opini Penulis: Saatnya Meninjau Ulang ‘Siri’ dan Patriarki

‎Kasus ini bukan sekedar kriminalitas keluarga. Ini cermin dari nilai-nilai budaya yang tak diberi ruang refleksi. Ketika siri’ tidak dibarengi dengan pemahaman HAM dan kasih sayang, ia bisa berubah jadi ideologi kematian.

‎Pendidikan hukum dan budaya harus masuk ke ruang-ruang keluarga. Bukan untuk menghapus tradisi, tapi menyelamatkannya dari salah tafsir yang mematikan.

‎🌹 Penutup: Nama Indah di Langit Bantaeng

‎Malam itu, hujan turun deras. Di rumah kayu yang kini dipasangi garis polisi, hanya tinggal kenangan. Pita merah muda, sekarang terikat di pagar besi sebagai tanda cinta yang direnggut oleh tangan saudara sendiri.

‎Indah telah tiada. Tapi kisahnya harus hidup, agar kita semua belajar:

‎Bahwa tidak ada budaya, kehormatan, atau adat yang layak ditegakkan di atas kuburan anak sendiri. (*)

Rilis Opini: Pimred Redaksi

Editor: Wheny

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *