UpdateiNews|Kepulauan Meranti, Riau (30/05/25) — Aktivitas pembalakan liar di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Tasik Tanjung Padang, Desa Dedap, Kecamatan Tasik Putri Puyu, Kabupaten Kepulauan Meranti, semakin tak terkendali. Sementara masyarakat dan lingkungan menjadi korban langsung, pihak BBKSDA Riau selaku pemangku kepentingan konservasi masih belum menunjukkan tindakan tegas.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa saat Kapolda Riau Irjen Pol Dr. Hery Herjawan, S.I.K., M.H., M.Hum. melakukan kunjungan resmi ke lokasi, tidak ditemukan barang bukti pembalakan seperti yang selama ini ramai dilaporkan warga. Namun menurut warga dan pemantau independen, kayu-kayu hasil pembalakan liar itu telah disembunyikan, sebagian dibenamkan ke sungai dan sebagian lagi digeser jauh ke dalam hutan untuk mengelabui kunjungan pejabat.
Dugaan Pelanggaran Hukum Berat
Tindakan pembalakan liar di kawasan konservasi merupakan pelanggaran serius terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, di antaranya:
Pasal 50 Ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa izin. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenakan sanksi pidana sesuai:
- Pasal 78 Ayat (5) UU No. 41 Tahun 1999, yang menyebut bahwa pelanggar dapat dikenai pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 Ayat (1) huruf a, yang melarang setiap orang melakukan perusakan lingkungan hidup.
- Bagi aparat penegak hukum atau ASN yang terbukti terlibat, dapat dikenai sanksi etik dan pidana tambahan sesuai dengan Pasal 21 UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) karena penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan.
Analisis Ahli: Kerusakan Lingkungan dan Ancaman Ekologis
Dr. Lestari Widya, pakar ekologi dan lingkungan hidup dari Universitas Andalas, menjelaskan bahwa pembalakan liar di kawasan konservasi seperti Suaka Margasatwa dapat menimbulkan efek jangka panjang yang fatal:
“Kawasan seperti Tanjung Padang itu memiliki fungsi ekologis sebagai penyerap karbon, penahan air, dan pelindung biodiversitas. Hilangnya tutupan hutan mempercepat limpasan air hujan, menyebabkan banjir tahunan dan degradasi tanah yang permanen.”
Dr. Lestari juga menekankan dampak terhadap keanekaragaman hayati. Banyak spesies langka seperti burung rangkong, kucing hutan, dan pohon meranti merah yang bergantung pada hutan primer yang kini semakin rusak.
“Kerusakan habitat ini adalah pembunuhan diam-diam terhadap spesies yang dilindungi. Sekali punah, tidak bisa dikembalikan. Konservasi itu bukan sekadar papan nama, tapi sistem hidup yang harus dijaga,” tegasnya.
Warga Menjerit, Negara Masih Diam
Sementara pemerintah daerah dan BBKSDA Riau belum menunjukkan langkah korektif, warga Desa Dedap justru menjadi korban utama. Ekonomi mereka stagnan akibat banjir tahunan dan kerusakan ekosistem sungai.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi bukan dengan cara merusak hutan. Kami cuma ingin hidup tenang, panen, dan melihat anak-anak kami tumbuh tanpa takut banjir atau bencana,” ujar Ahmad Rasyid, tokoh masyarakat.
Desakan Publik: Usut Tuntas dan Turunkan Tim Independen
Masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan akademisi mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI segera menurunkan tim audit lingkungan independen dan melakukan penyelidikan atas dugaan keterlibatan oknum APH serta kelalaian BBKSDA Riau.
“Jika negara masih punya niat menjaga kehutanan Indonesia, ini saatnya. Jangan tunggu semuanya terlambat. Kita bicara soal nyawa ekosistem dan keadilan bagi rakyat kecil,” tegas Dr. Endang Setiawan.(*)
Catatan Redaksi:
Permintaan konfirmasi dan wawancara telah dikirimkan kepada BBKSDA Riau, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi yang diterima.
Rilis: Edy | Redaksi
Editor: When