“Terdampar di Negeri Sendiri: Ketika Mimpi Dicuri, Dompet Raib, dan Negara Diam”

UpdateiNews | Lebak, Banten, (17/05/25) – Di negeri yang katanya kaya sumber daya dan bangga dengan geliat ekonomi digital, seorang pria bernama Alfi harus menelan getirnya kenyataan: bekerja tanpa digaji, ditinggal bosnya kabur, dan kehilangan dompet dalam perjalanan pulang. Kini ia terduduk di sudut jalanan Lebak, Banten terdampar bukan karena memilih, tapi karena dipaksa oleh nasib yang diciptakan sistem yang timpang.

Alfi, pria asal Bekasi, mencoba mengadu nasib di Pekanbaru, bekerja di perusahaan penyedia layanan telekomunikasi. Bukan pekerjaan prestisius, bukan juga kerja nyaman berpendingin ruangan. Tapi cukup, katanya, untuk makan dan bantu keluarga. Sayang, upah yang dijanjikan tak kunjung datang. Bosnya menghilang, tak bisa dihubungi. Negara? Jangankan melindungi, mendengarpun tidak.

Dalam kepulangan penuh kecewa, ia kehilangan dompet benda sederhana tapi vital di negara ini, tempat kartu identitas dan harapan bertemu. Kini ia tanpa uang, tanpa dokumen, tanpa jawaban. Di tanah airnya sendiri, ia menjadi pengungsi domestik yang tak tercatat.

Kritik dari Akademisi: Potret Gagalnya Negara Melindungi Warga

Dr. Rika Anindita, pengamat kebijakan sosial dari Universitas Indonesia, menilai kasus Alfi mencerminkan wajah buram sistem ketenagakerjaan nasional.

“Ini bukan hanya soal satu orang yang tidak digaji. Ini adalah akibat dari sistem tenaga kerja yang permisif terhadap eksploitasi, dan pemerintah yang lebih sibuk menghitung investasi asing daripada menjamin hak dasar pekerja lokal.”

Ia menambahkan bahwa pekerja informal dan migran domestik seperti Alfi adalah kelompok paling rentan, namun paling diabaikan.

“Mereka bukan bagian dari narasi pembangunan, tapi jadi korban darinya. Ketika negara membanggakan angka pertumbuhan, ada manusia seperti Alfi yang tumbang karena tak punya siapa-siapa untuk membela.”

Dimensi Ekonomi-Politik: Ketimpangan yang Dibiarkan

Sementara itu, ekonom dari Lembaga Ekonomi Rakyat (LER), Darman Siregar, menyoroti akar ketimpangan struktural:

“Ketika akses kerja formal terbatas, rakyat dipaksa menerima kerja apa pun. Bahkan kerja yang tanpa kontrak, tanpa jaminan. Negara tahu ini terjadi, tapi memilih diam karena ketimpangan justru menguntungkan elite.”

Menurutnya, banyak Alfi lain di luar sana, hanya saja belum terekspose kamera.

Realitas yang Menohok

Hari ini, Alfi adalah representasi dari jutaan rakyat yang tak terdaftar dalam statistik kesejahteraan. Ia tidak punya Kartu Prakerja, tidak punya akses BPJS aktif, bahkan tidak tahu ke mana harus melapor.

Di tengah gegap gempita politik dan perayaan pembangunan, Alfi menjadi pengingat: bahwa kemajuan tanpa keadilan hanya akan melahirkan satu hal ketimpangan.(*)

Terdampar di Negeri Sendiri: Ketika Mimpi Dicuri, Dompet Raib, dan Negara Diam”hanya akan bertindak… setelah viral.

Rilis: Redaksi 

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *