UpdateiNews | Pekanbaru-Riau, (04/05/25) – Dua balita tenggelam di lubang eks galian sumur milik Pertamina Hulu Rokan (PHR). Mereka bukan korban kecelakaan mereka adalah korban dari sistem manajemen tambal sulam yang selama ini jadi wajah industri migas di Riau. Tragedi ini adalah bukti nyata bahwa di balik kemegahan industri energi nasional, ada kepedihan dan kematian yang dibiarkan tumbuh di pekarangan rumah rakyat.
Riau selama ini dijadikan lumbung energi nasional. Namun, apa yang didapat rakyatnya? Udara yang tercemar, jalan-jalan rusak oleh lalu lintas alat berat, suara bising mesin bor, denduman bom dan kini lubang maut yang merenggut nyawa anak-anak tak berdosa. Inikah bentuk “kontribusi” industri migas terhadap daerah penghasil?
Skema manajemen PHR sangat patut dipertanyakan. Sistem kerja yang berorientasi target produksi, bukan keselamatan lingkungan sekitar. Dana CSR yang tak jelas distribusinya. Penerapan standar operasi yang kerap kali bersifat kosmetik sekadar formalitas audit dan sertifikasi. Sementara di lapangan, lubang bekas aktivitas pengeboran dibiarkan terbuka, menjadi perangkap senyap bagi siapa saja yang melintas.
Dalam setiap sesi publikasi, PHR kerap menggembar-gemborkan kepedulian terhadap masyarakat. Tapi ketika dua anak kecil tenggelam dalam lubang yang seharusnya tidak ada di sana, tak satu pun dari para petinggi itu yang bicara soal kegagalan sistem. Yang ada hanya pernyataan datar, permintaan maaf basa-basi, dan janji yang tinggal janji.
Lebih menyakitkan, pemerintah daerah pun sering kali tak punya cukup taring untuk menekan raksasa migas ini. Ketergantungan terhadap PAD dari sektor ini membuat pengawasan menjadi tumpul. Akibatnya, perusahaan berjalan tanpa kontrol, sementara rakyat hanya jadi penonton dan korban.
Sudah saatnya kita bertanya: siapa sebenarnya yang berdaulat di tanah Riau? Apakah rakyat, atau korporasi? Mengapa perusahaan sekelas PHR bisa beroperasi dengan jejak lingkungan yang brutal namun tetap lolos dari sanksi tegas?
Tragedi ini harus menjadi titik balik. Audit menyeluruh tidak bisa ditunda. Skema pengelolaan harus dirombak, dengan menempatkan keselamatan warga sebagai prioritas utama bukan efek samping yang bisa dinegosiasikan. Setiap titik operasi harus dikaji ulang dengan perspektif lingkungan dan sosial, bukan sekadar ekonomi.
Dan kepada PHR, tanggung jawab Anda tidak selesai di santunan atau renovasi lokasi. Anda berutang perubahan. Anda berutang transparansi. Anda berutang keamanan kepada setiap keluarga yang tinggal tak jauh dari tapak operasi Anda.
Jika kematian dua balita ini tidak menjadi alasan cukup kuat untuk berbenah, maka perusahaan ini tidak layak menyandang nama “Hulu Rakyat.” (*)
Rilis Opini: Bobby Setiawan | Pimred
Editor: When