Tarif Trump dan Runtuhnya Tata Perdagangan Global: Amerika Menang, Dunia Kalah?”

UpdateiNews | WASHINGTON D.C, (03/05/25) – Pada momen yang ia nobatkan sebagai “Liberation Day,” mantan Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump mengguncang panggung ekonomi dunia dengan kebijakan tarif imbal balik terhadap sejumlah negara. Kebijakan ini tidak hanya mengejutkan mitra dagang Amerika, tetapi juga mengguncang fondasi sistem perdagangan global yang selama ini dijaga melalui lembaga multilateral seperti World Trade Organization (WTO).

Dalam daftar tarif yang diumumkan, negara-negara seperti Tiongkok, Uni Eropa, Vietnam, hingga Indonesia dikenai tarif hingga lebih dari 100%. Retorika “Amerika harus menang” mendasari strategi baru yang kini menggantikan multilateralisme dengan pendekatan bilateral yang sangat transaksional.

Dari Arsitek Menjadi Perusak Sistem

Ironisnya, Amerika yang selama beberapa dekade menjadi arsitek utama sistem perdagangan bebas dunia justru kini menjadi pihak yang mendorong kejatuhannya. Di bawah naungan WTO, perdagangan internasional berlandaskan pada prinsip kesetaraan, non-diskriminasi, dan penyelesaian sengketa yang transparan. Selama era ini, negara-negara berkembang seperti Korea Selatan, Vietnam, dan Indonesia menikmati pertumbuhan pesat berkat akses pasar global.

Namun, Trump dan para pendukungnya menilai sistem ini gagal memberi keuntungan yang sepadan bagi rakyat Amerika. Mereka menyebut WTO bias terhadap negara-negara yang memanipulasi mata uang, memberikan subsidi, dan memberlakukan tarif tinggi terhadap produk AS. Maka lahirlah pendekatan “country-to-country”, sebuah strategi di mana Amerika menegosiasikan tarif dan akses pasar secara langsung, tanpa aturan lembaga multilateral.

Efek Domino dan Ketegangan Global

Keputusan ini memicu efek domino. Negara-negara mitra mulai membalas dengan tarif serupa, merusak rantai pasok global yang selama ini efisien dan terintegrasi. Data ekspor-impor menunjukkan penurunan drastis pada komoditas utama. Industri otomotif, elektronik, dan pertanian menjadi korban utama dari perang tarif yang tak berkesudahan.

“Dunia kini masuk ke era proteksionisme terbuka,” ujar Prof. Amelia Reyes, ekonom dari London School of Economics. “Setiap negara mulai memikirkan dirinya sendiri, melindungi industri domestik, dan membangun blok dagang baru. Ini membahayakan stabilitas ekonomi global.”

Amerika Menang, Dunia Kalah?

Narasi yang diusung Trump adalah bahwa Amerika Serikat selama ini dirugikan oleh kesepakatan global yang timpang. Dengan tarif baru ini, ia ingin memulihkan industri dalam negeri dan menekan defisit perdagangan. Namun, para pengkritik melihat pendekatan ini sebagai strategi jangka pendek yang mengorbankan kepemimpinan global Amerika.

“Ketika Anda memukul semua orang dengan tarif, Anda bukan hanya menciptakan musuh ekonomi baru, tetapi juga kehilangan pengaruh diplomatik,” kata Dr. Taufiq Ramadan, pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia.

Dari “Free Market” ke “Fair Market”

Banyak negara sebenarnya menginginkan reformasi WTO, untuk menjadikan pasar global lebih adil, dari “free market” menuju “fair market.” Namun, alih-alih memimpin reformasi, AS justru memilih jalan konfrontasi. Dunia kini menghadapi ancaman nyata terhadap keberlanjutan sistem perdagangan terbuka.

Ancaman Perang Dunia?

Dalam konteks geopolitik yang sudah tegang, banyak analis menyebut kebijakan ekonomi Trump sebagai salah satu pemicu ketidakstabilan global. Poster-poster bertuliskan “World War 3 is coming” dan “Semua pemicu sudah aktif!” mulai menyebar di media sosial. Meski terdengar berlebihan, narasi ini menunjukkan bahwa publik mulai merasakan ketegangan yang merembet dari sektor ekonomi ke sektor keamanan.

Menuju Dunia Tanpa Aturan Bersama

Dengan hancurnya kepercayaan terhadap sistem multilateral, dunia tengah bergerak menuju masa depan tanpa aturan bersama. Fragmentasi ekonomi menjadi ancaman nyata. Negara-negara dengan kekuatan besar akan saling berhadapan, dan negara kecil akan terjepit di tengah.

Dunia masih punya kesempatan untuk menyelamatkan sistem yang ada. WTO perlu reformasi, bukan dibongkar. Amerika bisa memimpin perbaikan, bukan penghancuran. Jika tidak, kita semua akan terjebak dalam siklus balas dendam ekonomi yang pada akhirnya membuat semua pihak kalah.

Dalam dunia yang saling terhubung, tidak ada kemenangan sejati dalam isolasi. Sebuah dunia yang adil hanya dapat dicapai melalui kerja sama, bukan dominasi sepihak.

ANALISIS: Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru

Pergeseran dari multilateralisme ke bilateralisme adalah lebih dari sekadar kebijakan tarif. Ini adalah tanda pergeseran paradigma kekuasaan global. Amerika tidak lagi melihat dirinya sebagai penjamin stabilitas global, tetapi sebagai aktor yang berjuang untuk keuntungan nasional murni.

Tindakan ini membuka peluang bagi kekuatan ekonomi baru seperti Tiongkok dan Uni Eropa untuk mengambil peran lebih besar dalam membentuk aturan main global. Jika Amerika terus bersikap unilateral, maka tatanan baru dunia bisa terbentuk tanpa mereka di pusatnya.

Kita juga melihat munculnya blok-blok baru seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan BRICS yang mulai menyusun arsitektur perdagangan sendiri. Ini menjadi sinyal bahwa dunia tidak lagi bergantung pada satu kutub kekuatan.

Namun, pluralitas kekuatan tanpa institusi global yang kuat justru bisa menciptakan dunia yang lebih tidak stabil. Dunia butuh aturan yang disepakati bersama agar kompetisi tetap berada dalam batas aman.

Rekomendasi untuk Pemimpin Dunia

1. Reformasi WTO secara inklusif, dengan memberi ruang lebih besar bagi negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan.

2. Ciptakan mekanisme dialog tarif bilateral yang tetap terintegrasi dalam kerangka multilateral.

3. Bangun kepercayaan antar-negara melalui transparansi kebijakan dan kerja sama regional.

4. Libatkan sektor swasta dan masyarakat sipil dalam membentuk arah baru globalisasi agar tidak hanya menguntungkan segelintir elite.

Kebijakan Trump bisa menjadi cambuk agar dunia tidak lagi terjebak pada dogma pasar bebas tanpa etika. Namun jika responsnya adalah balas dendam dan fragmentasi, maka “Amerika menang, dunia kalah” akan menjadi kenyataan yang tragis. (*)

Rilis: Redaksi 

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *