“TPP Mandek, Sertifikasi Guru Terlunta: Pemerintah Pusat Dinilai Gagal Lindungi Daerah dari Krisis APBN”

UpdateiNews | Pekanbaru , (01/05/25) – Di tengah sorotan publik atas jebolnya APBN di awal tahun, kekecewaan mendalam menyelimuti ribuan ASN dan guru di seluruh pelosok Indonesia. Mereka bukan hanya merasa dilupakan, tetapi secara sistematis dikorbankan oleh kebijakan fiskal pemerintah pusat yang dianggap tidak manusiawi dan anti-daerah.

Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang selama ini dielu-elukan sebagai penjaga fiskal negara, kini menjadi simbol ketimpangan anggaran. Dengan belanja negara tembus Rp 620,3 triliun hanya dalam tiga bulan, pusat justru memangkas aliran dana ke daerah atas nama efisiensi. Hasilnya? Transfer daerah macet, dan hak-hak pegawai pun terpangkas secara brutal.

“Ini bukan sekadar defisit, ini penghianatan terhadap janji negara,” kata seorang guru di Sumatera Barat yang belum menerima sertifikasi sejak Januari. Padahal, mereka adalah garda depan pelayanan pendidikan. Namun, suara mereka tenggelam di tengah sorak-sorai pemerintah atas surplus keseimbangan primer Rp 17,5 triliun angka yang di mata daerah hanya ilusi statistik.

Efisiensi yang dipaksakan pemerintah pusat kini terbukti timpang: pusat tetap belanja mewah, daerah dipaksa hemat mati-matian. Akibatnya, TPP ASN tidak dibayarkan tepat waktu, guru-guru mengajar dengan semangat hampa, dan pelayanan publik mendekati kolaps.

Anggota DPR RI Fraksi Oposisi menyebut kebijakan ini sebagai “otoritarianisme fiskal” yang menyandera daerah melalui regulasi teknokratik. “Pemerintah pusat menjadikan daerah sapi perah, lalu ketika krisis datang, daerah disuruh diet. Ini bukan lagi manajemen keuangan, ini penindasan struktural,” tegasnya dalam rapat di Senayan.

Publik bertanya: mengapa defisit Rp 104,2 triliun bisa dianggap “wajar”, sementara rakyat di bawah menjerit? Jika desain APBN memang sudah merancang defisit hingga Rp 616 triliun, mengapa beban penyesuaian selalu dibebankan ke daerah dan bukan ke kementerian pusat yang penuh pos belanja non-produktif?

Berikut lanjutan rilis berita dengan kutipan tajam dari tokoh-tokoh daerah, menyoroti ketimpangan fiskal dan menyalahkan pemerintah pusat:

Kemarahan dari berbagai penjuru nusantara mulai menyeruak. Tokoh-tokoh daerah angkat bicara, menyebut bahwa pemerintah pusat telah bersikap semena-mena dan lupa diri padahal sumber kekayaan negara mayoritas berasal dari daerah.

“Mereka di Jakarta enak duduk di ruang ber-AC, bicara efisiensi dan stabilitas. Tapi mereka lupa: uang yang mereka belanjakan itu dari keringat rakyat di daerah,” tegas Bupati Kutai Barat, Ahmad Rizal, dalam pernyataan terbukanya pekan ini. “Kami kirim pajak, kirim SDA, kirim hasil bumi, tapi ketika giliran bagi hasil, kami yang disuruh mengencangkan ikat pinggang. Ini penjajahan gaya baru.”

Kritik senada datang dari Gubernur Sulawesi Tenggara, Nurhayati Abdullah, yang menyebut bahwa kebijakan fiskal saat ini bukan hanya timpang, tapi tidak bermoral.
“Daerah penghasil nikel, batu bara, sawit, malah dibikin menderita. Dana transfer tersendat, guru dan ASN tidak dibayar, dan pusat malah sibuk menjaga citra di mata internasional. Negara ini sedang kehilangan hati nurani,” tegasnya dalam forum Musrenbangwil, yang langsung disambut tepuk tangan meriah para kepala daerah.

Bahkan, Ketua DPRD Provinsi Papua Barat, Simon Mofu, menilai bahwa selama ini pusat hanya menjadikan daerah sebagai ATM negara. “Mereka kutip pajak, rampas sumber daya, lalu bagi-bagi anggaran seenaknya. Kami bukan penonton, kami adalah pemilik sah kekayaan republik ini,” ujarnya lantang.

Kini, tuntutan agar Sri Mulyani dan jajaran pemerintah pusat bertanggung jawab kian menguat. Bukan hanya karena defisit, tapi karena kegagalan membaca bahwa stabilitas ekonomi bukan hanya soal angka di layar monitor, melainkan hak hidup layak bagi pegawai, guru, dan masyarakat di daerah. (*)

Rilis: Redaksi
Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *