Melanggar Hak Ulayat Masyarakat Adat, Izin PT STS Harus Dicabut!

UpdateiNews-HALMAHERA TIMUR 24 April 2025 – Awan hitam menggantung di atas PT Sambiki Tambang Sentosa (STS). Perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur, kembali jadi sorotan setelah diduga menyerobot tanah adat milik Masyarakat Adat Qimalaha. Aksi pemblokiran yang dilakukan warga Desa Wayamli dan Yawanli pada Senin, 21 April 2025, menjadi puncak dari ketegangan yang telah lama membara.

Warga turun ke jalan, memblokade akses utama menuju lokasi tambang milik PT STS. Tuntutannya jelas: hentikan aktivitas ilegal di atas tanah adat Qimalaha! Perusahaan dinilai telah melanggar hak ulayat serta merusak lingkungan hidup yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat sejak sebelum republik ini lahir.

β€œIni bukan sekadar konflik lahan. Ini bentuk kolonialisasi gaya baru yang merampas ruang hidup masyarakat adat!” tegas Hasan Basri, Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Demokrasi (PSKD). Ia mengingatkan bahwa Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dengan terang mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Tak hanya itu, Hasan juga mengutip Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat adat atas wilayah mereka. β€œPT STS tidak bisa datang seenaknya dan menggusur sejarah serta martabat masyarakat Qimalaha. Tanah itu bukan milik negara, apalagi korporasi, itu warisan leluhur!”

Namun, bukannya menunjukkan itikad baik, PT STS malah menunjukkan sikap keras kepala. Dalam pertemuan yang difasilitasi Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur dan Tim Penyelesaian Lahan pada Rabu, 23 April 2025, perusahaan menolak menandatangani dokumen kesepakatan penghentian aktivitas di tanah adat.

β€œIni bentuk arogansi korporasi yang tidak bisa ditoleransi. Jika PT STS tidak menghormati hukum dan kearifan lokal, maka mereka harus angkat kaki dari Halmahera Timur!” ujar Hasan dengan geram.

Desakan kini mengarah ke Pemerintah Daerah Haltim, DPRD Haltim, bahkan Pemerintah Pusat untuk segera bertindak. Masyarakat adat telah bersuara. Hukum berpihak pada mereka. Maka, tinggal satu langkah lagi: Cabut izin operasi PT STS, sebelum konflik ini menjadi bara yang membakar sendi-sendi keadilan sosial di tanah Moloku Kie Raha!. (*)

Rilis: Redaksi / Taslim | Halut
Editor: Weny Christina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *