Salah Geledah Rumah Warga, Polisi Surabaya Dipertanyakan: Penegak Hukum atau Pelanggar Hak Asasi?

UpdateiNews | Surabaya – Di tengah sorotan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum, insiden penggeledahan salah sasaran yang menimpa Dwi Purnama Wijaya alias Ipung justru memperparah citra kepolisian. Kronologi mencengangkan ini terjadi di Dukuh Kupang, Surabaya, saat empat orang polisi berpakaian preman menerobos masuk rumah warga tanpa membawa satu pun bukti yang sahih.

Masuk dengan Kedok “Teman”, Keluar tanpa Bukti, Tinggalkan Trauma

Menurut penuturan Ipung, salah satu polisi mengaku sebagai “teman” untuk bisa masuk ke dalam rumah. Tanpa surat perintah yang jelas, tanpa pendamping RT/RW, mereka langsung menggeledah. “Tidak ada satu pun narkoba ditemukan, tapi mereka tinggalkan rumah kami dalam kondisi porak poranda – secara fisik maupun psikologis,” ujar Ipung.

Klaim “Sesuai Prosedur”, Tapi Mana Etika dan Kemanusiaan?

Kasi Humas Polrestabes Surabaya, AKP Rina Shanty Dewi, mengakui bahwa empat polisi itu adalah anggotanya dan menyebut semua prosedur telah dilalui. Namun pernyataan itu menuai kecaman. “Kalau begini prosedurnya, semua rumah warga bisa saja digerebek atas dasar kecurigaan belaka. Ini bukan prosedur—ini arogansi!” kata salah satu pengamat hukum dari Universitas Airlangga yang enggan disebut namanya.

Luka Psikis Warga, Hilangnya Rasa Aman

Trauma mendalam dialami keluarga Ipung, terutama anak-anak yang menyaksikan aksi penggeledahan seperti adegan film kriminal. “Saya bukan penjahat. Tapi diperlakukan seperti itu di rumah sendiri, apa lagi yang tersisa dari rasa aman?” tambah Ipung.

Di Mana Fungsi Propam? Di Mana Akuntabilitas?

Sehari setelah penggerebekan gagal tersebut, Ipung dihubungi petugas dari Bid Propam Polda Jatim. Namun bukan untuk meminta maaf, melainkan untuk mendengarkan kronologi versi korban. Sayangnya, belum ada kabar soal sanksi, teguran, atau penyelidikan mendalam terhadap tindakan sembrono ini.

Catatan Redaksi: Polisi Butuh Evaluasi, Bukan Justifikasi

Jika penggeledahan tanpa bukti bisa dibenarkan, maka negara hukum telah berubah menjadi negara insting. Jika identitas aparat bisa disamarkan demi “penyelidikan”, maka siapa yang menjamin rumah warga tak berubah jadi TKP berikutnya?

Kontroversi ini bukan soal prosedur tapi ini soal keadilan, moral, dan nyawa publik yang terus dibayang-bayangi oleh kesewenang-wenangan. Jika tak ada pertanggungjawaban, Surabaya akan jadi panggung penggerebekan liar berikutnya.(*)

Rilis: Redaksi

Editor: When

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *