Oleh: Redaksi
UPDATEINEWS|PEKANBARU,(1/10/25) – Sekretaris Daerah Riau, Syahrial Abdi, menyampaikan Nota Pengantar Perubahan APBD 2025 di hadapan DPRD. Temanya terdengar indah: “Meningkatkan pelayanan dasar, tata kelola pemerintahan, dan pemerataan infrastruktur untuk penguatan ekonomi.” Kalimatnya rapi, retoris, bahkan terdengar seperti mantra penyembuh krisis.
Namun, mari kita jujur: apa benar APBD 2025 akan mengokohkan ekonomi Riau? Atau justru menjadi saksi betapa daerah ini masih terjebak dalam lingkaran klasik pendapatan turun, belanja dipangkas, utang lama menjerat, dan PAD mandek di jalan buntu?
Syahrial menyebut perjalanan dinas dipangkas 50 persen, kegiatan seremonial dibatasi, honorarium disesuaikan. Sepintas, ini langkah maju. Tapi publik tentu skeptis. Sebab, jargon “pemangkasan dinas luar” dan “efisiensi seremonial” sudah diulang sejak era gubernur-gubernur sebelumnya. Faktanya, biaya perjalanan dinas dan studi banding tetap muncul saban tahun, hanya berganti baju nomenklatur.
Pertanyaannya sederhana: apakah pemangkasan ini nyata, atau sekadar ilusi akuntansi?
Lebih mengejutkan, sebagian besar perubahan anggaran diarahkan untuk membayar tunda bayar 2024. Artinya, 2025 bukan tahun pembangunan, tapi tahun “cicilan utang.”
Riau seakan berjalan di tempat: satu tahun kerja, dua tahun bayar tunggakan. Padahal, kalau APBD terus dipakai menutup masa lalu, kapan masa depan bisa dibangun? Di titik ini, publik berhak bertanya: apa sebenarnya yang salah dengan perencanaan keuangan Pemprov?
Riau adalah lumbung sawit, ladang migas, penghasil gas bumi, kayu, bahkan batu bara. Tapi ironis, APBD kita masih menjerit ketika pusat memangkas transfer Rp116 miliar dari DAU dan DAK.
Ini tamparan keras: daerah kaya sumber daya tapi belum bisa mandiri fiskal. PAD yang seharusnya menopang pembangunan, entah menguap ke mana. Celakanya, pejabat lebih lihai merancang kegiatan seremonial ketimbang menggali potensi ekonomi rakyat.
Syahrial menyebut “setiap rupiah anggaran diarahkan pada kepentingan rakyat.” Pernyataan ini manis, tetapi publik punya ingatan panjang. Sudah berapa kali janji ini diucapkan, sementara sekolah rusak tak diperbaiki, jalan berlubang tetap menganga, dan layanan kesehatan masih jauh dari kata layak?
Jika APBD benar untuk rakyat, maka rakyat akan merasakannya. Masalahnya, yang paling sering merasakan justru birokrat: lewat perjalanan dinas, seminar, FGD, dan honor kegiatan.
Perubahan APBD 2025 ini hanyalah cermin dari problem lama:
APBD seharusnya menjadi mesin penggerak kesejahteraan. Sayangnya, di Riau, APBD lebih sering menjadi mesin yang sibuk memutar roda birokrasi.
Dan jika pola ini terus berulang, jangan salahkan rakyat jika suatu hari mereka bertanya dengan getir:
“APBD ini milik siapa pemerintah atau kami?”
1. Pajak Parkir & Retribusi Jasa Usaha
Masalah utama: tidak semua setoran parkir masuk ke kas daerah, sebagian nyangkut di kantong operator atau bahkan oknum.
Mekanisme pengawasan lemah, sistem manual masih dominan, sehingga angka bisa dimanipulasi.
Kasus dugaan “parkir siluman” di Pekanbaru jadi contoh klasik, di mana potensi besar malah bocor ke swasta dan jaringan rente.
2. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) & BBNKB
Kontribusi besar PAD, tapi rawan bocor lewat:
– Data kendaraan ganda/tidak ter-update (kendaraan luar daerah tapi beroperasi di Riau).
– Penghapusan denda/sanksi yang kadang diatur “diam-diam” oleh oknum petugas.
– Potensi bisa ditingkatkan lewat digitalisasi, tapi resistensi dari pihak yang selama ini menikmati celah cukup kuat.
3. Pajak Restoran, Hotel, dan Hiburan
Banyak usaha kecil-menengah tidak melaporkan omzet sebenarnya.
Ada “deal bawah meja” antara pemilik usaha dengan oknum petugas pajak daerah, sehingga laporan jauh lebih kecil dari pendapatan asli.
Sektor ini makin besar di Pekanbaru, tapi kontribusi PAD stagnan indikasi kebocoran jelas.
4. Pajak Bahan Galian Golongan C (tambang pasir, batu, dll.)
– Sektor pertambangan rakyat sering tidak terdata, atau ada yang “dilegalkan” lewat pembayaran informal.
– Potensi sebenarnya sangat besar, tapi laporan resminya minim..
5. Sektor Sawit & Migas (DBH dan pungutan daerah)
– Sawit: PAD dari retribusi kebun dan pabrik pengolahan sering tidak transparan. Banyak kebun “ilegal” yang tidak membayar kewajiban.
– Migas: meski DBH ditentukan pusat, di lapangan masih ada potensi retribusi kegiatan penunjang yang tidak maksimal dipungut.
6. Retribusi Perizinan & Pelayanan Publik
– Mulai dari izin usaha, IMB, sampai pelayanan tertentu. Banyak pungutan yang tidak tercatat resmi alias masuk “jalur belakang”.
– Ini sumber klasik kebocoran karena birokrasi lamban dan masyarakat “disarankan” lewat jalan cepat dengan biaya ekstra.
👉 Kesimpulan:
Bocornya pajak daerah di Riau datang dari kombinasi sistem manual yang rawan manipulasi, oknum aparatur yang menikmati celah, serta politik rente antara pemda dan pengusaha lokal. Parkir, pajak restoran-hotel, pajak kendaraan, hingga sawit dan tambang jadi ladang utama kebocoran. (*)
UPDATEINEWS|JAKARTA,(30/08/25) - Jaksa Agung ST Burhanuddin akhirnya menuntaskan kekosongan jabatan Jaksa Agung Muda Pembinaan (JAMBin)…
UPDATEINEWS|PEKANBARU,(30/09/25) – Menjelang Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025,Kader inti pemuda anti narkoba (KIPAN) Kota…
UPDATEINEWS|SIAK,(30/09/25) - Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekretariat Daerah Kabupaten (Setdakab) Siak, Fauzi Asni, mengikuti Rapat…
UPDATEINEWS|PEKANBARU,(30/09/25) – Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat menegaskan hanya akan mengakui Persatuan Tinju Amatir…
UPDATEINEWS|PEKANBARU,(29/09/25) – Lima narapidana kasus narkoba di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Pekanbaru dipindahkan ke…
UPDATEINEWS|PEKANBARU,(29/09/25) -Aksi protes puluhan warga RW 02 Tobekgodang terhadap aktivitas Heaven Two (H2) Panam Center…
This website uses cookies.