UpdateiNews | YOGYAKARTA, (20/04/25) – Dunia pendidikan kembali tercoreng. Edy Meiyanto, seorang Guru Besar ternama Universitas Gadjah Mada (UGM), diduga mencabuli 13 mahasiswi bimbingannya. Namun alih-alih jeruji besi, sanksi yang dijatuhkan hanyalah pemecatan dari status dosen. Netizen pun geram: “Cuma dipecat? Ini pelecehan, bukan salah ketik skripsi!”
Skandal ini menyeret nama besar kampus ternama ke pusaran pertanyaan moral dan integritas. Bagaimana mungkin tindakan sekeji itu hanya dibayar dengan surat pemberhentian? Kampus seharusnya menjadi tempat yang aman, bukan ruang berburu bagi predator intelektual berselubung gelar.
Satuan Tugas PPKS UGM mengonfirmasi pelanggaran terhadap 13 korban, yang terdiri dari mahasiswi tingkat S-1 hingga S-3. Modusnya pun sistematis: menggunakan bimbingan akademik sebagai kedok untuk menjebak korban ke ruang pribadi pelaku.
Namun ironisnya, alih-alih dibawa ke ranah hukum, pihak kampus hanya menyebutkan “sanksi administrasi telah dijatuhkan.” Di mana empati terhadap korban? Di mana semangat kampus merdeka jika predator masih bisa lolos dari jeratan hukum dengan hanya kehilangan jabatan?
Apakah UGM sedang melindungi nama baik institusi, atau justru mempertaruhkan martabatnya? Ketika keadilan direduksi menjadi sekadar pemecatan, publik patut bertanya: berapa harga nyawa dan trauma belasan mahasiswi di mata lembaga pendidikan?
Kritik pun membanjiri media sosial. “Kalau bukan guru besar, pasti sudah dijebloskan ke penjara!” tulis salah satu warganet. Yang lain menyindir, “Kalau mencabuli mahasiswi dihukum cuma kehilangan jabatan, apa yang mencegah pelaku lain untuk melakukan hal yang sama?”
Kampus bukan tempat berlindung para pemangsa. Jika tidak ada tindakan hukum yang tegas, maka ini bukan hanya soal Edy Meiyanto. Ini adalah kegagalan sistemik. Dan hari ini, UGM punya pilihan: menegakkan keadilan atau menjadi saksi bisu kekerasan yang mereka biarkan. (*)
Rilis: Redaksi
Editor: When