“Dalam demokrasi, suara rakyat dikawal oleh lembaga independen. Tapi kini, tangan kekuasaan mulai menjulur lewat lorong-lorong yang sunyi dan tata tertib.”
Perbarui Berita | Riau, (08/06/25) – Tatib DPR sejatinya adalah pedoman internal. Ia bukan konstitusi, bukan juga undang-undang. Tapi dalam sidang paripurna yang sunyi Februari lalu, lahirlah satu pasal yang bisa mengubah wajah demokrasi kita: Pasal 228A.
Pasal ini mengatur bahwa DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap pejabat negara bahkan setelah mereka melewati uji kelayakan dan kepatutan. Evaluasi ini dianggap untuk memperkuat pengawasan. Tapi kita harus bertanya: pengawasan atas nama siapa? Dan untuk kepentingan siapa?
Dalam konstitusional yang sehat, jabatan publik itu disaring melalui sistem merit dan diuji melalui mekanisme hukum, bukan hanya politik. Tapi pasal ini membuka ruang evaluasi yang tidak memerlukan bukti pelanggaran, tidak memerlukan pengadilan, dan tidak memberi ruang banding. Evaluasi berubah menjadi penghakiman.
Kita sudah terlalu sering menyaksikan bagaimana “ evaluasi politik ” digunakan untuk menekan pejabat yang kritis, atau untuk membersihkan jalan bagi yang setia. Maka ketika DPR memberikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga seperti KPU, KPK, BPK, atau Mahkamah Konstitusi, kita perlu cemas karena itu bukan pengawasan, itu dominasi.
Kekuasaan di negeri ini semakin mahir dalam membungkus formal. Dulu, sensor datang lewat larangan. Kini, ia datang melalui pasal dan peraturan. Dulu, pejabat kritis disingkirkan secara kasar. Kini, cukup melalui evaluasi berkala yang demi profesionalisme, padahal bisa dikatakan saja demi kenyamanan penguasa.
Apakah ini berarti semua pejabat harus dilindungi? Tidak. Tapi pengawasan haruslah adil, transparan, dan bisa diuji. Evaluasi bukan berarti eksekusi. Apalagi jika alat ukurnya kabur dan bisa mengganggu kepentingan partai.
DPR adalah wakil rakyat. Tapi wakilnya tidak boleh menjadi raja. Pengawasan perlu, tapi dengan batas. Bila semua bisa dievaluasi DPR tanpa izin dan transparansi, maka sesungguhnya yang kita bangun bukan republik, melainkan oligarki yang disahkan oleh paripurna.
Maka pertanyaannya bukan lagi soal legal atau tidak. Tapi soal: masihkah kita setia pada roh demokrasi yang sejati yakni kepercayaan pada sistem yang adil dan terbuka, bukan pada kekuasaan yang merasa berhak mengatur segalanya?
Akhirnya, Kita Harus Bertanya: Siapa Yang Mengawasi Para Pengawas?
Kalau evaluasi tidak bisa meluas, maka itu bukanlah pengawasan. Ia adalah kontrol.
Kalau kontrol tak bisa diuji, maka ia bukan demokrasi. Ia adalah dominasi.
Kita sebagai masyarakat harus kritis. Kita sebagai media harus bersuara.
Karena diam di tengah pergeseran kekuasaan adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi yang kita warisi dari perjuangan.(*)
Rilis Opini: Pimred
Editor: Kapan
UPDATEINEWS | SIAK, (18/08/25) – Dugaan aroma busuk kembali menyeruak dari proyek pemerintah di Kabupaten…
UPDATEINEWS | PEKANBARU,(18/08/25) - Seusai upacara penurunan bendera HUT ke-80 RI, Minggu (17/8/2025), ribuan pasukan…
UPDATEINEWS | TERNATE,(18/08/25) -Aroma busuk korupsi kembali menyeruak dari tubuh birokrasi Maluku Utara. Kali ini,…
UPDATEINEWS | PEKANBARU,(18/08/25) - Rapat Paripurna DPRD Kota Pekanbaru yang seharusnya menjadi forum terhormat dalam…
UPDATEINEWS | MERANTI,(17/08/25) - Bertempat di Lembaga Kelas II-B Selatpanjang Kec. Tebing Tinggi Kab. Kep.…
UPDATEINEWS | PEKANBARU,((17/08/25) - Pekanbaru, UpdateiNews – Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau…
This website uses cookies.