📰 BERITA INVESTIGASI: “Pulau Padang Dalam Sekapan Izin: Ketika Hutan, Warga, dan Hukum Dikorbankan”

UpdateiNews | Pulau Padang, Riau,(20/07/25) – Sebuah pulau kecil di pesisir timur Sumatera bernama Pulau Padang menjadi saksi bagaimana negara meloloskan sebuah izin tambal sulam, yang berdampak langsung terhadap hilangnya hutan, hilangnya ruang hidup, dan hancurnya tatanan sosial masyarakat. Izin itu datang bukan dari sembarang pihak, melainkan dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, melalui SK.327/Menhut-II/2009.

Izin yang diteken oleh Menteri M.S. Kaban pada 12 Juni 2009, hanya empat bulan menjelang jabatannya berakhir, menjadi awal dari tragedi agraria-ekologis di Kabupaten Kepulauan Meranti. Tanpa kajian ekologi yang memadai, tanpa musyawarah dengan masyarakat setempat, tanpa perlindungan terhadap ekosistem gambut, izin itu mengalihkan ±41.205 hektare hutan di Pulau Padang menjadi konsesi HTI untuk PT. RAPP perusahaan raksasa industri kertas.

Siapa yang Dikorbankan? Masyarakat Adat dan Ekologi Pulau Padang

Sebanyak 14 desa di Pulau Padang terdampak langsung oleh masuknya izin PT. RAPP. Desa Lukit, Desa Bagan Melibur, dan Desa Mayang Sari menjadi titik panas perlawanan warga yang kehilangan ruang hidup mereka. Warga mengaku tidak pernah dilibatkan atau diajak bicara sebelum izin dikeluarkan.

Pulau Padang secara hukum memenuhi kriteria sebagai pulau kecil (luas < 2.000 km²), dan sebagian besar wilayahnya merupakan gambut dalam >3 meter, yang seharusnya dilindungi berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 dan UU No. 32 Tahun 2009. Namun dalam SK Menteri, tidak ada satu pun konsideran yang menyebut atau mempertimbangkan ketentuan perlindungan tersebut.

“Kami tiba-tiba dikepung. Hutan ditebang, alat berat masuk, dan saat kami menolak, justru kami yang dilaporkan ke polisi,” ujar seorang warga Lukit.

Tak hanya hutan yang ditebang, kerusakan gambut menyebabkan air gambut mengasam, sumur-sumur rusak, dan potensi kebakaran lahan meningkat drastis. Di sisi lain, konflik horizontal antarwarga pecah, karena sebagian kecil masyarakat yang pro perusahaan dituding sebagai “mata-mata”.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Fakta-fakta hukum menunjukkan bahwa penerbitan izin ini melanggar ketentuan hukum sektoral, seperti:

  • UU 27/2007 tentang Pulau Kecil (izin wajib mempertimbangkan daya dukung & kepentingan masyarakat pesisir)
  • UU 32/2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup (izin wajib dilengkapi AMDAL & FPIC)
  • Tidak ada bukti HP-3 sebagai hak pemanfaatan pulau yang disyaratkan undang-undang

Pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban atas konflik ini adalah:

1. Menteri Kehutanan periode 2004–2009, M.S. Kaban, yang menerbitkan SK 327 secara terburu-buru.

2. PT. RAPP, yang menerima dan menjalankan izin tanpa mengindahkan prinsip keadilan sosial dan lingkungan.

3. Kementerian Kehutanan dan Dirjen Bina Usaha Kehutanan tahun 2013, yang menerbitkan surat pengaktifan kembali aktivitas perusahaan meskipun konflik belum selesai.

4. Tim Mediasi Pemerintah 2011, yang gagal merepresentasikan aspirasi masyarakat dan malah mengakomodir kompromi sepihak.

Upaya Penyelesaian yang Setengah Hati

Tahun 2011, Menteri Kehutanan membentuk Tim Mediasi untuk menyelesaikan konflik. Dua opsi ditawarkan:

  • Mencabut seluruh izin di Pulau Padang
  • Mengurangi sebagian areal

Namun keputusan jatuh pada pilihan kedua, yang dianggap tidak menyelesaikan akar masalah. SK 180/Menhut-II/2013 hanya mengurangi 11.620 ha dari total 41.205 ha—sementara operasi perusahaan kembali diaktifkan.

Ketika Negara Abai, Warga Lawan

Pulau Padang kini menjadi contoh nyata bagaimana sebuah kebijakan yang cacat secara hukum, jika tidak dikoreksi, bisa menjadi sumber konflik berkepanjangan. Negara gagal menghadirkan keadilan, justru memihak pada kekuatan modal, dan meninggalkan masyarakatnya berjuang sendiri.

Kasus ini belum selesai. Konflik masih membekas, hutan belum pulih, dan kepercayaan rakyat terhadap negara makin pudar.

“Negara menjual tanah kami tanpa izin, lalu menyuruh kami diam.”

Bersambung….,

Rilis: Redaksi

Editor: Wheny 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *